Assalamu'alaikum wahai para sahabat~ Bila diamati secara serus dan lapang rasa, sedekah adalah
inti amal orang Jawa. Bedanya, seperti disalah-pahami oleh banyak kepala, orang
Jawa tidak bersedekah hanya kepada manusia, akan tetapi kepada semua makhluk
Gusti Allah. Termasuk binatang dan makhluk gaib dari berbagai jenis. Ini
terkait dengan kosmologi Triloka atau pandangan dunia orang Jawa dalam
keseluruhannya yang dianut oleh keseluruhan orang-orang nusantara.
Sejauh ini, kesatuan pandangan dunia di nusantara biasanya
berbasis pada tiga. Kemudian dalam perkembangannya untuk melihat peristiwa
kemanusiaan yang berbeda-beda, bilangan tiga mengalih-rupa menjadi; empat
(catur), lima (panca), delapan (hasta), sembilan (sanga). Pandangan dunia
triloka ini secara fisik bisa dilihat dari atap rumah atau atap masjid kuno
yang bersusun tiga, lima, dan sembilan.
Tri artinya tiga. Loka artinya dunia/tempat/hutan/ruang.
Kadangkala istilah triloka ini beralih-rupa dalam istilah lain semisal Tribuana
dan Tripurusa. Tiga dunia atau tiga ruang itu adalah; dunia atas, dunia tengah,
dunia bawah. Epistemologi triloka dalam narasi tradisi keislaman nusantara ini
dibangun di atas sebuah ayat dalam al-Quran Surat al-Naml: 17: “Dan untuk Sulaiman dikumpulkan
bala tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka berbaris dengan
tertib. Burung adalah lambang dari dunia atas. Manusia adalah lambang dunia
tengah. Jin adalah lambang dunia bawah. Bagaimana konsepsi ini lahir? Tentu
saja dari pengalaman berkebudayaan atau kesadaran tentang realitas atau keadaan
geo-kultural-spiritual. Lain kesempatan akan dibicarakan.
Dunia atas
Dunia atas adalah dunia langit. Menghargai dunia atas adalah
dengan memantapkan kehambaan. Bahasa al-Qurannya hablun minallah. Dalam narasi
keilmuan wali songo, dunia langit ini disebut dengan istilah; baitul ma’mur.
Pemegang perkara ini adalah Sunan Bonang. Ketersambungan dan kemenyambungan
dengan dunia atas bagi orang Jawa diungkapkan dengan istilah manembah. Dalam
perkakas simbolik sehari-hari, interaksi dengan dunia atas merupa dalam
ibadah-ibadah mahdhah dan ibadah sosial-budaya, satu di antaranya: tumpengan.
Tumpeng artinya tumuju ing pengeran (menuju kepada Allah Tempat Sandaran). Di
atas nasi tumpeng yang berbentuk kerucut itu ada brambang/bawang dan
cabai/lombok. Brambang artinya upaya memasuki dunia ambang atau dunia langit.
Seperti halnya bawang yang artinya masuk ke dunia awang.
Langit ada tujuh lapis. Setiap lapisan-lapisan itu
dilambangkan dengan lapisan-lapisan kulit bawang yang sangat tipis. Bentuk amal
konkret memasuki tiap lapis langit itu adalah; pengakuan dan permohonan ampun
atas tujuh; ‘ujub, sum’ah, riya, takabbur, kibr, hasud, kikir. Orang yang masih
berpakaian tujuh dosa itu, bagi orang Jawa, doa-doanya akan lama sampai ke
langit ketujuh. Cabai atau lombok itu sendiri melambangkan perintah untuk lumbu
atau bersegera mendekat kepada Allah (wa sari’u ila maghfiratin min rabbikum
[bersegeralah kalian untuk meraih ampunan Allah....). Di bawah nasi kerucut itu
ada banyak simbol-simbol dalam bentuk sayur-mayur dan lauk-pauk. Kesempatan
lain akan dibabarkan.
Sedekah untuk dunia atas berbentuk zikir-zikir. Baik tasbih,
tahmid, takbir, tahlil, hawqalah (la haula wal quwata). Sebagaimana anjuran
nabi bahwa setiap sendi manusia yang berjumlah 360 itu ada sedekahnya. Orang
yang tidak pernah berzikir, berarti tidak pernah bersedekah untuk dunia langit.
Para wali menyumberkan amal sedekah langit ini dari al-Quran Surat al-Mu’minun
ayat 7: “(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di
sekelilingnya memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan
ampun bagi orang-orang yang beriman (Seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami,
rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada
orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka
dari siksaan neraka yang menyala-nyala.
Dunia tengah
Dunia tengah adalah dunia manusia. Disebut juga dengan
baitul muharram. Sunan Kalijaga adalah wali yang membawahi perkara ini. Dunia
manusia, bagi orang Jawa adalah dunia rasa. Amal memahami dunia rasa ini biasa
disebut dengan istilah; at-tashaddur (pen-dada-an/merasakan dengan rasa].
Bagian ini disimbolkan dengan bagian dada manusia. Bergaul dengan sesama
manusia tidak membutuhkan kalkulasi rasional, melainkan kalkulasi rasa. Bahasa
arabnya itu tadi; at-tashaddur.
Sedekah kepada sesama manusia adalah sumbu pembuktian dari
kesungguhan bersedekah kepada langit dan dunia bawah (akan diterangkan di
bawah). Di atas telah disebutkan bahwa inti dari setiap ibadah atau upacara apa
saja dalam budaya Jawa adalah; doa dan terlebih lagi sedekah. Mau membangun,
menaikkan atap, masuk rumah, ada doa dan sedekahnya. Begitu juga mau nikah, mau
sunatan/tetakan, tedak siten (bayi yang berumur setahun dan mulai berjalan
menginjak tanah), khatam ngaji, dan mau apa saja, bagi orang Jawa semua ada
sedekahnya. Hafal lafal doa untuk setiap hajat atau tidak, terkadang tidak
terlalu dipusingkan oleh orang Jawa. Yang terpenting adalah; sedekahnya.
Karena itu, materi sedekah orang Jawa menempati derajat;
sulit untuk diganggu-ganti. Ia terkait dunia rasa. Soalnya setiap hidangan
sedekah, ada makna-maknanya yang berhubungan dengan ketulusan niat dan hajat si
tukang sedekah. Nasi kuning, kacang panjang, ayam ingkung, telur, dan entah apa
lagi namanya, semuanya adalah lambang dari zikir-doa-hajat-dan terlebih lagi
upaya orang jawa untuk; karyenak tyasing sesami (mengenakkan hati/tyas sesama
manusia) atau amal penyelerasan diri dengan keseluruhan alam semesta (rahmatan
lil ‘alamin).
Untuk diri sendiri, mengenakkan hati ini dilakukan dengan
terlebih dahulu menghalau ketakutan akan kehabisan harta karena bersedekah.
Karena itu, materi sedekah orang Jawa itu pasti yang mahal-mahal. Mulai dari
ayam, kambing, sampai kerbau. Apa maksud dari itu semua? Kata guru saya;
“..kalau mau bergaul dan mengenakkan hati sesama itu jangan
tanggung-tanggung.... kalau mau bersedekah itu jangan yang murah-murah... yang
mahal sekalian..!!! kowe serius po ra nyedeki Gustimu lan menakke ati sedulurmu
[kamu serius apa gak mendekati Tuhanmu dan mengenakkan hati saudaramu?]..
sedekah kok cari yang paling hemat..!!!...”
Pada kasus-kasus tertentu, penitik-beratan sedekah pada
derajat dunia sosial ini seolah menempati tingkat yang lebih penting daripada
sedekah untuk dunia atas. Bahasa kasarnya; terkadang di Jawa ada banyak orang
yang baik kepada sesama dan tetangga tapi amat jarang terlihat “di masjid”.
Berbaik sangka merupakan kata kunci di sini.
Dunia bawah
Dunia bawah adalah baitul muqaddas/maqdis. Wilayah ini
diampu oleh Sunan Giri [versi sebelumnya saya pernah menyebutkan diampu oleh
Sunan Kudus]. Dunia bawah merupakan dunia makhluk-makhluk gaib dan para saudara
dari bangsa binatang. Secara jasadiah, ia disimbolkan dengan kelamin manusia.
Mengurusi perkara dunia bawah ini merupakan bagian yang sangat penting bagi
orang Jawa. Orang Jawa harus akrab dengan dunia gaib, dunia mistik. Soalnya itu
juga bagian dari kelengkapan kemanusiaan orang Jawa. Jin dan bangsa-bangsa
binatang bukan musuh. Bila mereka berada di rumah seseorang, akan diajak untuk
bermusyawarah; silahkan tinggal di sini tapi jangan mengganggu, saling
menghormati. Sebagaimana halnya manusia; bangsa jin dan hewan juga tidak suka
kekerasan “doa”.
Bagi orang jawa, setelah bersedekah dan mengenakkan hati
sesama manusia, maka sedekah juga diniatkan untuk para saudara sesama makhluk
Allah dari bangsa gaib dan bangsa binatang. Untuk mereka, materi sedekahnya
tidak seperti materi sedekah kepada manusia. Melainkan dalam bentuk
tulang-belulang, sisa-sisa makanan/minuman yang tidak termakan ketika acara sedekah
dilangsungkan. Terkadang juga dalam bentuk pembakaran kemenyan/dupa dan
bunga-bunga yang sudah didoakan.
Apakah sedekah untuk mereka itu dilakukan supaya bangsa jin
dan hewan-hewan itu itu melindungi manusia? Dengan kata lain; apakah sedekah
untuk mereka itu dikeluarkan dengan niat meminta perlindungan kepada mereka?
Tidak. Tentu saja tidak. Anggapan demikian yang ditudingkan oleh banyak
kalangan jelas keliru di sini. Bersedekah untuk bangsa dari duni bawah
diamalkan semata-mata karena mereka juga dianggap sebagai sesama makhluk Allah
yang harus merasakan nikmat dan berkahnya menyantap hidangan yang terlebih dahulu
telah didoakan dengan zikir, salawat, dan pepuji pada ilahi.
Menjadi wajar bila sampai hari ini, kita masih berjumpa
dengan para sesepuh yang sebelum membangun rumah, mereka terlebih dahulu
menanam tulang kepala kerbau di bagian tengah rumah. Lalu tulang-tulang
belulang lainnya ditanam di setiap sudut rumah. Dengan terlebih dahulu
dagingnya dimasak dan dibagikan kepada para tetangga. Jika tidak kerbau,
biasanya kambing, ayam, atau bahkan ikan. Terserah apa materinya. Intinya,
mereka juga dianggap harus merasakan njikmatnya makan-minum yang terlebih
dahulu telah dioles dengan doa-doa dan zikir-zikir. Kanjeng nabi sudah bilang
bahwa makanan bangsa jin adalah tulang-belulang, bunga-bunga, dan semacamnya.
Selain disantap oleh bangsa jin, nanti seluruh sedekah itu akan disantap juga
oleh makhluk Allah lainnya seperti semut, cacing, dan semacamnya.
Dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
berkata; bahwasanya ia pernah membawakan pada Kanjeng Nabi saw sebuah wadah
berisi air wudhu dan hajat beliau. Ketika ia membawanya, Kanjeng Nabi saw
bertanya; “siapa ini?”. “Saya, Abu Hurairah”, jawabnya. Kanjeng Nabi saw pun
berkata; “carilah beberapa buah batu untuk kugunakan bersuci. Dan jangan
bawakan padaku tulang dan kotoran.” Abu Hurairah berkata; “kemudian aku
mendatanginya dengan membawa beberapa buah batu dengan ujung bajuku. Hingga aku
meletakkannya di samping beliau dan aku berlalu pergi. Ketika beliau selesai
buang hajat, aku pun berjalan menghampiri beliau dan bertanya; “ada apa dengan
tulang dan kotoran?”. Kanjeng Nabi saw menjawab; “tulang dan kotoran merupakan
makanan jin. Keduanya termasuk makanan jin. Aku pernah didatangi rombongan
utusan jin dari Nashibin dan mereka adalah sebaik-baik jin. Mereka meminta
bekal kepadaku. Lalu aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar tidaklah mereka
melewati tulang dan kotoran melainkan mereka mendapatkannya sebagai makanan”
(HR. Bukhari no. 3860).
Tentang dupa dan saudaranya
Dupa, kemenyan, dan bunga-bunga, juga tidak hanya disajikan
untuk para saudara-saudara sesama makhluk dari bangsa gaib. Ia juga mengandung
makna simbolik yang khas. Jangan lupa, bahwa bagi orang Jawa, makna segala hal
itu ada tujuh lapis. Mulai dari yang paling harfiah sampai yang paling lungid
(makna tingkat langit). Upacara rasulan yang melibatkan pembuatan nasi tumpeng,
itu tidak hanya bermakna harfiah, namun juga makna tingkat langit yang terkait
dengan hubungan rohani antara manusia dan pencipta. Bahasan ini di lain waktu
akan dibabarkan.
Banyak orang salah memahami dupa dan kemenyan yang dibakar
dalam upacara tertentu. Perlu dipahami dulu bahwa dupa itu merupakan benda
simbolis yang dibuat atau dilibatkan dalam sebuah upacara tertentu sebagai
ungkapan maksud-maksud mulia yang berdasar. Artinya, dupa dibakar bukan sebagai
benda asal-asal bakar. Ia punya makna-makna yang bila dikaji akan tampak sangat
rasional. Harap diperhatikan di sini, bahwa semua benda-benda tradisi, selalu
merupakan simbol. Benda-benda itu, misalnya dupa, adalah sesuatu yang dipakai
untuk mengatakan sesuatu yang lain. Dalam penelusuran saya, setidaknya ada
beberapa makna dupa, kemenyan, dan bunga-bunga yang dibakar dalam berbagai
upacara.
Pertama, dupa sebagai pernyataan bahwa upacara tersebut
bersumber dari hati yang wangi. Kewangian hati itu diungkapkan dengan dupa,
kemenyan, dan bunga-bunga yang memang juga wangi. Maksud "hati yang
wangi" itu adalah hati yang tulus, ikhlas, bersih, tidak berharap apa-apa
selain ridha Allah. Kedua, sebagai pernyataan bahwa para hadirin yang datang
pada ritual tersebut merupakan orang-orang baik, yang hatinya wangi, persis
wanginya dupa, kemenyan, dan bunga-bunga. Ketiga, upacara tersebut merupakan
rangkaian doa. Doa pasti wangi. Kecuali doa yang dipanjatkan untuk keburukan.
Kewangian doa itu diungkapkan atau disimbolkan dengan dupa. Jadi, kalau di sana
ada dupa dan kemenyan dibakar, serta bunga-bunga disajikan, itu artinya ada doa
yang akan atau sedang dipanjatkan itu semata-mata untuk memohon kebaikan.
Keempat, dupa sebagai penegasan permintaan agar doa
dikabulkan. Yang disasar pada bagian ini adalah kebul-nya si dupa atau asapnya
itu. Kebul dimaksudkan di sini merupakan simbol dari harapan agar doa
dikabulkan. Soalnya kebul atau asap itu naik ke langit. Kalau sudah naik ke
langit, ke arah mana lagi ia ditujukan kalau bukan kepada Tuhan? Begitulah doa.
Ia terus melangit bersama rapalan doa yang dipermantra. Untuk maksud ini, di
zaman ini terkadang dupa sebagai harapan keterkabulan doa diganti dalam bentuk
rokok. Intinya tetap sama, yaitu ada asap yang dikebulkan di sana. Bunga juga
tetap dipakai.
Tentu saja ada makna-makna mulia lainnya di balik semua ini.
Termasuk upacara sedekah laut dan sedekah bumi dan semisalnya. Semua makna upacara itu harus dibaca dalam
tujuh tingkat makna atau saptanama. Intinya bahwa semua maksud di balik
upacara itu ada hal-ihwal yang tidak
sesepele tuduhan kemusyrikan. Jadi, jangan sembarangan mikir atau nuduh yang
bukan-bukan dulu. Lebih baik dikaji, dipelajari, dan ditabayyunkan.
Sunnah nabi
Upacara keagamaan-kebudayaan yang dilakukan oleh orang Jawa
hari ini boleh saja dituduh sebagai warisan peradaban pra-Islam. Ada pula yang
menudingnya sebagai warisan kebudayaan jahiliyah. Meski tuduhan itu bermasalah,
akan tetapi harus diingat, bahwa pada masa wali songo, semua upacara warisan
zaman sebelumnya itu telah mengalami islamisasi. Seperti halnya tradisi
memotong kambing orang Arab pra Islam untuk menyambut kelahiran bayi. Bahkan
mereka tidak hanya memotong hewan. Nantinya darah hewan tesebut dialirkan ke
kepala bayi yang baru dilahirkan. Lalu dagingnya dipersembahkan untuk
berhala-berhala. Seperti halnya juga kumpul-kumpul pada hari jumat yang jamak
terjadi di kalangan bangsa Arab.
Ketika Islam datang, Kanjeng Nabi mengislamisasi kebudayaan
tersebut. Upacaranya tetap dilangsungkan. Hewan qurban untuk kelahiran anak
tetap dipotong, akan tetapi, darahnya tidak dialirkan ke kepala bayi, melainkan
dialirkan ke tanah. Lalu rambut bayi dicukur, dan daging hewannya dibagikan
untuk dimakan bersama. Tradisi kumpul-kumpul hari jumat juga tetap dijalankan,
namun, diganti dengan ibadah salat jumat di masjid. Dari sini, tampak bahwa
merangkul kebudayaan lokal merupakan sunnah nabi. Tentu dengan
penyesuaian-penyesuaian kreatif yang tiada henti berdasarkan kosmologi agama
dan kosmologi masyarakat setempat.
Untuk Kanjeng Nabi saw dan ahli baitnya serta para wali di
tanah nusantara, al-fatihah...
Wallahu a’lam.
ditulis Ulang Oleh Pak Rt