September 2019
Blog ini mengenai syiar ISLAM ala NUSANTARA, yang menjunjung adab ketimuran, sekaligus sebagai gambaran kecintaan terhadap kyai, habaib, dan NKRI

PKI tunggang langgang diserbu pasukan hizbullah dan siliwangi



Assalamu'alaikum wahai para sahabat~

“Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati,” inilah yel-yel yang diteriakkan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pada tahun 1948.

Sejak 18 September 1948, Muso memproklamirkan negara Soviet Indonesia di Madiun. Otomatis, Magetan, Ponorogo, Pacitan menjadi sasaran berikutnya. Kyai di Pondok Takeran Magetan sudah dihabisi oleh PKI. Sekitar 168 orang tewas dikubur hidup-hidup. Kemudian PKI geser ke Ponorogo. Dengan sasaran Pondok Modern Darussalam Gontor.
KH. Imam Zarkasyi (Pak Zar) dan KH Ahmad Sahal (Pak Sahal) dibantu kakak tertua beliau berdua, KH Rahmat Soekarto (yang saat itu menjabat sebagai Lurah desa Gontor), pun berembug bagaimana menyelamatkan para santri dan Pondok.

“Wis Pak Sahal, penjenengan ae sing Budhal ngungsi karo santri. PKI kuwi sing dingerteni Kyai Gontor yo panjengan. Aku tak jogo Pondok wae, ora-ora lek dkenali PKI aku iki. (Sudah Pak Sahal, Anda saja yang berangkat mengungsi dengan para santri. Yang diketahui Kyai Gontor itu ya Anda. Biar saya yang menjaga Pesantren, tidak akan dikenali saya ini,” kata Pak Zar.

Pak Sahal pun menjawab: “Ora, dudu aku sing kudu ngungsi. Tapi kowe Zar, kowe isih enom, ilmu-mu luwih akeh, bakale pondok iki mbutuhne kowe timbangane aku. Aku wis tuwo, wis tak ladenani PKI kuwi. Ayo Zar, njajal awak mendahno lek mati“.

(Tidak, bukan saya yang harus mengungsi, tapi kamu Zar. Kamu lebih muda, ilmumu lebih banyak, pesantren ini lebih membutuhkan kamu daripada saya. Saya sudah tua, biar saya hadapi PKI-PKI itu. Ayo Zar, mencoba badan, walau sampai mati”.

Akhirnya, diputuskanlah bahwa beliau berdua pergi mengungsi dengan para santri. Penjagaan pesantren di berikan kepada KH Rahmat Soekarto.
Berangkatlah rombongan pondok Gontor kearah timur menuju Gua Kusumo, saat ini dikenal dengan Gua Sahal di Trenggalek. Mereka menempuh jalur utara melewati gunung Bayangkaki. Pak Sahal pun berujar,“Labuh bondo, labuh bahu, labuh pikir, lek perlu sakyawane pisan” (Korban harta, korban tenaga, korban pikiran, jika perlu nyawa sekalian akan aku berikan”.

Sehari setelah santri-santri mengungsi, akhirnya para PKI betul-betul datang. Mereka langsung bertindak ganas dengan menggeledah seluruh pondok Gontor.

Tepat pukul 15.00 WIB, PKI mulai menyerang pondok. Senjata ditembakkan. Mereka sengaja memancing dan menunggu reaksi orang-orang di dalam pondok. Setelah tak ada reaksi, mereka berkesimpulan bahwa pondok Gontor sudah dijadikan markas tentara.

Pukul 17.00 WIB, mereka akhirnya menyerbu ke dalam pondok dari arah timur, kemudian disusul rombongan dari arah utara. Tak lama kemudian datang lagi rombongan penyerang dari arah barat. Jumlah waktu itu ditaksir sekitar 400 orang.

Dengan mengendarai kuda pimpinan tentara PKI berhenti didepan rumah pendopo lurah KH. Rahmat Soekarto. Mengetahui kedatangan tamu, lurah Rahmat menyambut tamunya dengan ramah, serta menanyakan maksud dan tujuan mereka.

Tanpa turun dari kuda, pimpinan PKI ini langsung mencecar lurah Rahmat. Kemudian mereka meninggalkan rumah lurah Rahmat, nekat masuk tempat tinggal santri, lalu berteriak-teriak mencari kyai Gontor. “Endi kyai-ne, endi kyai-ne? Kon ngadepi PKI kene …” (Mana Kyainya, mana kyainya? Suruh menghadapi PKI sini…).

Karena tak ada sahutan, mereka pun mulai merusak pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri yang terbuat dari gedeg bambu dirusak. Buku-buku santri dibakar habis. Peci, baju-baju santri yang tidak terbawa, mereka bawa ke pelataran asrama. Mereka menginjak-injak dan membakar sarana peribadatan, berbagai kitab dan buku-buku. Termasuk beberapa kitab suci Al-Qur’an mereka injak dan bakar.
Akhirnya, PKI pun kembali kerumah lurah Rahmat, lalu berusaha masuk ke rumah untuk membunuh KH. Rahmat Soekarto. Mereka sambil teriak “Endi lurahe? Gelem melu PKI po ra? Lek ra gelem, dibeleh sisan neng kene…!” (Mana lurahnya? Mau ikut PKI apa tidak? Kalau tidak mau masuk anggota PKI, kita sembelih sekalian di sini).

Namun, tak berapa lama sebelum mereka bisa masuk kerumah lurah Rahmat. Datanglah laskar Hizbullah dan pasukan Siliwangi. Pasukan itu dipimpin KH. Yusuf Hasyim, (putra bungsu KH. Hasyim Asy’ari). Pasukan PKI itu akhirnya lari tunggang langgang, karena serbuan itu. Membiarkan Pondok Modern Darussalam Gontor dalam keadaan porak poranda.

Semoga sejarah ini menjadi pengingat dan pelajaran berharga untuk perjuangan mempertahankan Islam, Pesantren, Bangsa dan Negara.

Ditulis oleh:
Ahmad Ghozali Fadli
Pelayan Pesantren Alam Bumi Al-Qur’an, Wonosalam, Jombang
Wasekjen Forum Muballigh Alumni (FMA) Gontor

ditulis ulang oleh ~ pak rt
sumber
#Islam
#BeritaIslami
#Sunnah
#Qur'anHadist
#Tuntunan
#Islamnusantara
#PIN
#BelaIslam
#Aqidah
#ASWAJA
#pejuangislamnusantara
Blog ini mengenai syiar ISLAM ala NUSANTARA, yang menjunjung adab ketimuran, sekaligus sebagai gambaran kecintaan terhadap kyai, habaib, dan NKRI

SOAL KHAWARIJ, IKUTILAH SAYYIDINA ALI

*Ayik Heriansyah*




Assalamu'alaikum wahai para sahabat~

Huru hara di kota Madinah akibat gelombang unjuk rasa kaum Khawarij yang datang dari Bashrah, Kufah dan Mesir bukan aksi people power yang terjadi secara spontan. Aksi ini terstruktur, sistematis dan massif (TSM) tercium oleh Ali bin Abi Thalib tatkala ia melihat para demonstran tadinya akan kembali kota masing-masing setelah dialog dan berdamai dengan Khalifah Utsman, ternyata mereka putar balik ke Madinah secara serentak dalam waktu singkat.

Kembalinya para demonstran ini dipicu oleh surat hoaks atas nama dan stempel Khalifah Utsman yang isinya perintah kepada Gubernur Mesir agar mengeksekusi para demonstran setiba mereka di sana. Sekali lagi surat ini hoaks yang dibawa kurir yang sengaja melewati rombongan demontran. Tanpa ada yang mengorganisir tidak mungkin rombongan dari tiga kota berbeda arah bisa berkumpul kembali dalam waktu singkat ke Madinah. Begitu tangkapan pikiran Sayyidina Ali. Dia yakin ada aktor intelektual di balik aksi ini.

Al-Akhnaf bin Qais berkata: “Aku bertemu Thalhah dan az-Zubair setelah terjadi pengepungan terhadap Utsman, lantas bertanya: ‘Apa yang kalian berdua perintahkan kepadaku? Karena, aku telah melihat Utsman telah terbunuh.’ Mereka berdua menjawab: ‘Ikutilah Ali.’ Aku kemudian bertemu dengan ‘Aisyah di Makkah setelah terjadi pembunuhan terhadap Utsman, lalu bertanya: ‘Apa yang engkau perintahkan?’ Dia menjawab: ‘Ikutilah Ali.’ (Fathul Bari XIII/38).

‘Auf bin Abu Jamilah bercerita: “Aku tengah bersama Hasan al-Basri yang sedang berada di Madinah, ketika terjadi peristiwa pembunuhan Utsman. Orang-orang kemudian menyebut beberapa orang Sahabat Nabi saw. Ibnu Jausyan al-Ghathafanin berkata: ‘Wahai Abu Sa’id (Hasan al-Basri), orang-orang menganggap cacat Abu Musa al-Asy’ari karena dia mengikuti Ali. Mendengar itu Hasan al-Basri naik pitam, hingga kemarahan terlihat pada wajahnya. Ia lantas berkata: ‘Kalau bukan mengikuti Ali, siapa yang pantas untuk diikuti? Amirul Mu’minin Utsman telah terbunuh secara zhalim, kemudian orang-orang memilih yang terbaik di antara mereka, lalu membai’atnya. Kalau begitu, siapakah yang pantas dijadikan pemimpin? Sampai-sampai dia mengulanginya hingga beberapa kali.” (HR. Ahmad dalam Fadhilatush Shahabah, II/576 hadits no. 976).

Sayyidina Ali menjadi teladan dalam menghadapi pemberontak. Katanya: “Bagaimana pendapat kalian seandainya aku tidak berperang bersama kaum muslimin menghadapi pemberontak (Khawarij), siapakah yang akan memberikan contoh ini kepada kaum muslimin terkait orang-orang yang memberontak?” (Mushannaf Abdurrazaq, 10/124). Para ulama di kemudian hari meng-istinbath hukum seputar pemberontak dari Ali bin Abi Thalib. mereka mengatakan: “Seandainya tidak ada perperangan antara Ali dengan orang-orang yang menentangnya (Khawarij), niscaya tidak ketahui sunnah dalam memerangi sesame pemeluk agama Islam.” (At-Tamhid, Al-Baqillani, hal. 229. Tahqiqu Mawaqifish Shahabah 2/295).

Setelah menjadi Khalifah, Sayyina Ali sadar di tengah-tengah barisannya ada orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman. Dia paham kaum Khawarij ingin mengaburkan jejak dengan melebur di pihaknya. Dikarenakan situasi politik di kota Madinah masih panas, Khalifah Ali belum menindak mereka. Menunggu keadaan tenang dulu. Begini ijtihad politik yang diambilnya. Sebagian sahabat gagal paham tentang sikap Sayyina Ali ini. Berujung kepada terjadi insiden perang Jamal dan Shiffin.

Khalifah Ali sama sekali tidak menghendaki terjadinya perang saudara tersebut. Perang Jamal antara Khalifah Ali melawan ‘Aisyah, Thalhah dan Zubair beserta pendukungnya terjadi akibat manuver dan provokasi kaum Khawarij yang menyusup di barisan Sayyidina Ali dan ‘Aisyah. Padahal sudah ada kata sepakat kedua belah pihak untuk berdamai. Ketika malam tiba, kaum Khawarij yang ada di barisan ‘Aisyah dan Sayyidina Ali saling serang. Keadaan kacau. Tak ayal kedua belah pihak kemudian saling serang.

Di perang Shiffin, kaum Khawarij masuk di menjadi tentara Khalifah Ali. Di barisan Mu’awiyah bersih dari orang-orang Khawarij. Perang meletus. Khalifah Ali berhasil mendesak pasukan Muawiyah. Merasa bakal kalah, Muawiyah dibantu Amru bin ‘Ash membuat manuver mengajak damai dengan mengacungkan al-Qur’an. Khalifah Ali menganggap itu hanya manuver dari pihak yang kalah. Dia menolak berdamai. Akan tetapi kaum Khawarij menuntut Khalifah Ali agar menerimanya. Mereka terus menuntut. Akhirnya Khalifah Ali setuju untuk mengadakan tahkim (arbitrase) dengan Muawiyah. Anehnya kaum Khawarij justru menolak. Kemudian mereka keluar dari barisan Ali lalu menunjuk pemimpin mereka sendiri.

Mereka terus melakukan provokasi, menyebarkan isu-isu negatif tentang Ali. Meskipun demikian Khalifah Ali tetap menganggap mereka sebagai kaum muslim.. Kaum pemberontak tetap diakui keislamannya. Oleh sebab itu Sayyidina Ali menjamin   tidak melarang mereka untuk shalat di masjid, tidak menghalangi mereka untuk mengambil harta rampasan perang, selama kalian ikut berjihad bersama Ali, dan kami tidak akan memerangi mereka, hingga mereka memerangi Ali (Tarikh al-Umam wa al-Muluk, at-Thabari, 3/114).

Mereka memberontak karena ada syubhat-syubhat dalam pemikiran mereka. Oleh karena itu langkah pertama sebelum diperangi adalah mengembalikan pemahaman mereka kepada pemahaman Islam yang benar dengan nasihat, dialog dan debat. Ali bin Abi Thalib mengutus Ibnu Abbas untuk berdebat dengan kaum Khawarij. Ibnu Abbas berdebat tentang isi al-Qur’an selama tiga hari. Akhirnya 4.000 orang dari mereka kembali ke pemahaman yang benar dan bertaubat. Mereka mengakui ke-Khalifah-an Ali. (al-Mustadrak al Hakim, II/150). Selanjutnya Ali mengirim juru runding lainnya kepada mereka yang masih belum sadar. Sayyidina Ali baru memerangi kaum pemberotak setelah pemberontak memulai serangan dengan membunuh Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil. Otomatis 3 hal yang dijamin Ali kepada mereka batal. Mereka tidak berhak lagi shalat di masjid-masjid sampai mereka menghentikan peperangan.

Peperangan terhadap kaum pemberontak (bughat) Khawarij berbeda dengan peperangan melawan orang kafir. Kaum pemberontak diperangi untuk mencegah mudharat yang ditimbulkan oleh gerakan mereka. Karena tujuannya ingin mengembalikan kaum Khawarij ke jalan yang benar. Perang terhadap mereka bukan perang untuk membinasakan melainkan perang untuk mendidik. Sepanjang peperangan Khalifah Ali tidak putus asa menasehati, berdialog dan berdebat dengan mereka.

Jika pada diri Khalifah Ali melekat dua fungsi sekaligus yaitu fungsi menindak dan mendidik kaum pemberontak, maka fungsi itu juga ada pada pemerintah sekarang. Pemerintah bisa menindak kaum pemberontak secara fisik dan militer dengan langkah-langkah penegakan hukum sambil terus menerus melakukan langkah-langkah penyadaran bekerjasama dengan ulama, ormas dan lembaga-lembaga Islam. Peran ulama dalam mengembalikan kaum pemberontak Khawarij zaman kini seperti HTI dan ISIS, dengan nasihat, dialog dan debat ilmiah dilakukan secara pararel dengan tindakan penegakan hukum oleh pemerintah. Beginilah yang dicontoh oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Bandung, 20 Mei 2019

*Ketua LTN NU Kota Bandung, Pengurus LD PWNU Jawa Barat.
ditulis ulang oleh ~ pak Rt
#Islam
#BeritaIslami
#Sunnah
#Qur'anHadist
#Tuntunan
#Islamnusantara
#PIN
#BelaIslam
#Aqidah
#ASWAJA
#pejuangislamnusantara
Blog ini mengenai syiar ISLAM ala NUSANTARA, yang menjunjung adab ketimuran, sekaligus sebagai gambaran kecintaan terhadap kyai, habaib, dan NKRI

Masihkah Kalian Memimpikan Khilafah buatan Manusia
''TRAGEDI BERDARAH DI PUSARAN SEJARAH'




Assalamu'alaikum wahai para sahabat~

Kisah lelaki yang terbunuh tragis pada 10 Muharram

Lelaki itu berusia sekitar 58 tahun. Pada hari kesepuluh bulan Muharram, di tahun 61 H, selepas menunaikan shalat subuh, dia bergegas keluar tenda dan menaiki kuda kesayangannya. Pria itu menatap pasukan yang tengah mengepungnya. Mulailah dia berpidato yang begitu indah dan menyentuh hati:

قال:
أما بعد، فانسبوني فانظروا من أنا، ثم ارجعوا إلى أنفسكم وعاتبوها، فانظروا، هل يحل لكم قتلي وانتهاك حرمتي؟ ألست ابن بنت نبيكم ص وابن وصيه وابن عمه، وأول المؤمنين بالله والمصدق لرسوله بما جاء به من عند ربه! او ليس حمزة سيد الشهداء عم أبي! أوليس جعفر الشهيد الطيار
ذو الجناحين عمى! [او لم يبلغكم قول مستفيض فيكم: إن رسول الله ص قال لي ولأخي: هذان سيدا شباب أهل الجنة!] فإن صدقتموني بما أقول- وهو الحق- فو الله ما تعمدت كذبا مذ علمت أن الله يمقت عليه أهله، ويضر به من اختلقه، وإن كذبتموني فإن فيكم من إن سألتموه عن ذلك أخبركم، سلوا جابر بن عبد الله الأنصاري، أو أبا سعيد الخدري، أو سهل بن سعد الساعدي، أو زيد بن أرقم، أو أنس بن مالك، يخبروكم أنهم سمعوا هذه المقاله من رسول الله ص لي ولأخي.
أفما في هذا حاجز لكم عن سفك دمي!

“Lihat nasabku. Pandangilah siapa aku ini. Lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan menciderai kehormatanku.

“Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu? Bukankah aku ini anak dari washi dan keponakan Nabimu, yang pertama kali beriman kepada ajaran Nabimu?

“Bukankah Hamzah, pemuka para syuhada, adalah Pamanku? Bukankah Ja’far, yang akan terbang dengan dua sayap di surga, itu Pamanku?

“Tidakkah kalian mendengar kalimat yang viral di antara kalian bahwa Rasulullah berkata tentang saudaraku dan aku: “keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga”?

“Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku, maka tanyalah Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Sahl bin Sa’d, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik, yang akan memberitahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku.

“Tidakkah ini cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?”

Kata-kata yang begitu eloknya itu direkam oleh Tarikh at-Thabari (5/425) dan Al-Bidayah wan Nihayah (8/193).

Namun mereka yang telah terkunci hatinya tidak akan tersadar. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidullah bin Ziyad itu memaksa pria yang bernama Husein bin Ali  itu untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu’awiyah.

Tidakkah ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pertarungan di masa Khilafah dulu itu sampai mengorbankan nyawa seorang Cucu Nabi Saw. Apa masih mau bilang khilafah itu satu-satunya solusi umat?

Simak pula bagaimana Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah bercerita bagaimana Sayidina Husein terbunuh di Karbala pada 10 Muharram (asyura).

Pasukan memukul kepala Husein dengan pedang hingga berdarah. Husein membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya. Dan dengan cepat balutan kain terlihat penuh dengan darah Husein. Ada yang kemudian melepaskan panah dan mengenai leher Husein. Namun beliau masih hidup sambil memegangi lehernya menuju ke arah sungai karena kehausan. Shamir bin Dzil Jawsan memerintahkan pasukannya menyerbu Husein. Mereka menyerang dari segala penjuru. Mereka tak memberinya kesempatan untuk minum.

Ibn Katsir menulis: “Yang membunuh Husein dengan tombak adalah Sinan bin Anas bin Amr Nakhai, dan kemudian dia menggorok leher Husein dan menyerahkan kepala Husein kepada Khawali bin Yazid.” (Al-Bidayah, 8/204).

Anas melaporkan bahwa ketika kepala Husein yang dipenggal itu dibawa ke Ubaidullah bin Ziyad, yang kemudian memainkan ujung tongkatnya menyentuh mulut dan hidung Husein, Anas berkata: “Demi Allah! sungguh aku pernah melihat Rasulullah mencium tempat engkau memainkan tongkatmu ke wajah Husein ini.”

Ibn Katsir mencatat 72 orang pengikut Husein yang terbunuh hari itu. Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa mencata 4 ribu pasukan yang mengepung Husein, dibawah kendali Umar bin Sa’d bin Abi Waqash.

Pada hari terbunuhnya Husein, Imam Suyuthi mengatakan dunia seakan berhenti selama tujuh hari. Mentari merapat laksana kain yang menguning. Terjadi gerhana matahari di hari itu. Langit terlihat memerah selama 6 bulan.

Imam Suyuthi juga mengutip dari Imam Tirmidzi yang meriwayatkan kisah dari Salma yang menemui Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad, yang saat itu masih hidup (Ummu Salamah wafat pada tahun 64 H, sementara Husein terbunuh tahun 61 H).

Salma bertanya: “Mengapa engkau menangis?”

Ummu Salamah menjawab: “Semalam saya bermimpi melihat Rasulullah yang kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Saya tanya ‘mengapa engkau wahai Rasul?’

Rasulullah menjawab: “saya baru saja menyaksikan pembunuhan Husein.’”

Begitulah dahsyatnya pertarungan kekuasaan di masa Khilafah dulu. Mereka tidak segan membunuh cucu Nabi demi kursi Khalifah. Apa mereka sangka Rasulullah tidak akan tahu peristiwa ini? Lantas apakah mereka yang telah membunuh Sayidina Husein kelak masih berharap mendapat Syafaat datuknya Rasulullah di padang mahsyar?

Dalam kisah yang memilukan ini sungguh ada pelajaran untuk kita semua.

Al-Fatihah....


ditulis oleh ~Nadirsyah Hosen

#Islam
#BeritaIslami
#Sunnah
#Qur'anHadist
#Tuntunan
#Islamnusantara
#PIN
#BelaIslam
#Aqidah
#ASWAJA
#pejuangislamnusantara