MENGAPA LIRIK LAGU SYUBBANUL WATHON DITERJEMAHKAN “AFGANISTAN BILADY”?
Oleh M Abdullah Badri
Assalamu'alaikum wahai para sahabat ~ NU tidak main-main dalam menyebarkan ajaran Islam ahlusunnah wal jamaah sesuai amanat Muktamar ke-33 tahun 2015 lalu di Jombang. Islam ala Nahdlatil Ulama kini terbukti banyak dicari dan dijadikan prototype ukhuwah di berbagai negara, terutama setelah beberapa Negara di Timur Tengah porak-poranda akibat politik adu domba yang tidak bisa ditahan.
Untuk mengembalikan negaranya, agar damai dan makmur, Menteri Amar Ma’ruf Nahi Munkar Afganistan bernama Syaikh Qalamuddin menziarahi konsep ukhuwaah yang selama ini dibangun oleh NU. Menteri yang berwenang mencegah kemungkaran pun harus belajar karakter Islam Nusantara yang dikembangan oleh Jamiyyah Nahdhatul Ulama. Padahal, di negerinya sana, Qalamuddin bisa memutuskan 14 hari penjara bagi kaum laki-laki yang jenggotnya tidak panjang. Itu tugas dia. Tapi, untuk menghukum perusak persatuan, dia harus lebih banyak bertukar pikiran dengan ormas yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Mulai datang di bandara untuk belajar kepada PBNU, ia menangis saat disambut 500an penerbang dengan nada-nada shalawat. Ia terharu. Anak-anak seusia para penerbang di Afganistan tidak ada yang bisa memiliki kemampuan seni dan optimis seperti di Indonesia. Usia muda mereka dihabiskan untuk latihan berperang. Tidak sebagaimana dilihat olehnya di Indonesia.
Keheranan Qalamuddin makin menjadi kala melihat fakta bahwa amaliyah ubudiyah warga NU di Indonesia hampir mirip dengan muslimin di negerinya yang mayoritas bermadzhab Hanafiyah. Tapi Indonesia lebih damai daripada negerinya, apa rahasianya? Karena NU bukan saja komunitas pengamal Syafi’iyah, tapi juga menyatukan antara nasinalisme dan religiusitas, dengan jargonnya; hubbul wathon minal iman.
Sinergi nasionalisme dan religiusitas itulah yang disebut sebagai bagian dari harakah an-nahdliyyah. NU itu tidak hanya memiliki amaliyah aswaja, tapi juga harakah (gerakan khas), yang meliputi gerakan keagamaan (diniyyah), kemasyarakatan (ijtimaiyyah), persaudaraan (ukhuwwah), serta amar ma’ruf nahi munkar. Hanya terjebak pada amaliyah aswaja saja, tentu tidak cukup sebagai modal membangun keutuhan negara dan bangsa.
Buktinya, meski mayoritas muslim dan sama-sama berpaham aswaja, Afganistan tetap bisa diporak-porandakan oleh politik adu domba, sebagaimana halnya Suriah, Irak, Yaman dan Somalia. Negeri-negeri itu menuju negara gagal karena massifnya kampanye ideologi radikal yang memiliki semangat beragama tinggi tapi memisahkannya dengan semangat mencintai bangsa dan negara.
Qalamuddin akhirnya belajar. Sebagai Menteri Amar Ma’ruf Nahi Munkar, ia kemudian membawa pula lagu Syubbanul Wathon (yang dikarang KH. Abdul Wahab Chasbullah), ke negerinya sana, Afganistan. Teks “Indonesia Bilady” dari Mbah Wahab diubah menjadi “Afganistan Bilady (Afganistan negeraku)”. Negeri Aljazair menyusul menggubah Syubbanul Wathon menjadi “Aljazair Bilady”. MasyaAllah.
Salah satu materi khutbah Jum’at kiai/ulama’ Nahdlatul Ulama yang menjelaskan tentang Pancasila sebagai falsafah persatuan antar bangsa di Indonesia, juga dibawa pulang oleh beberapa duta negara sahabat Indonesia untuk diterjemahkan ke bahasa kebangsaan mereka. Pada momen tertentu, para khatib Jum’at diminta pihak berwenang untuk mengkhutbahkan materi khutbah dari kiai NU tersebut. Saya tidak perlu menyebut nama beliau di sini. Intinya, Pancasila juga menjadi basis persatuan di negeri-negeri tersebut.
Walhasil, keseriusan Nahdlatul Ulama dalam menyebarkan Islam aswaja An-Nahdliyyah dalam karakter rahmatan lil alamin ala Islam Nusantara di belahan bumi lain bukan omong kosong. Hal itu nyata dan serius terjadi. Wajar jika NU diramalkan kelak menjadi penyangga perdamaian dunia sebagaimana tertuang dalam misi logo NU hasil istikharah KH. Ridlwan Abdullah selama tiga malam berturut-turut. Wajar pengaruh NU makin diakui dunia, dan wajar pula jadi sasaran nyinyir dan fitnah kalangan kathok cingkrang jidat gosong.[]
ditulis ulang oleh ~ Pak Rt
Sumber: http://bit.ly/2S8Ljh5
#Islam
#BeritaIslami
#Sunnah
#Qur'anHadist
#Tuntunan
#Islamnusantara
#PIN
#BelaIslam
#Aqidah
#ASWAJA
#pejuangislamnusantara
Untuk mengembalikan negaranya, agar damai dan makmur, Menteri Amar Ma’ruf Nahi Munkar Afganistan bernama Syaikh Qalamuddin menziarahi konsep ukhuwaah yang selama ini dibangun oleh NU. Menteri yang berwenang mencegah kemungkaran pun harus belajar karakter Islam Nusantara yang dikembangan oleh Jamiyyah Nahdhatul Ulama. Padahal, di negerinya sana, Qalamuddin bisa memutuskan 14 hari penjara bagi kaum laki-laki yang jenggotnya tidak panjang. Itu tugas dia. Tapi, untuk menghukum perusak persatuan, dia harus lebih banyak bertukar pikiran dengan ormas yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Mulai datang di bandara untuk belajar kepada PBNU, ia menangis saat disambut 500an penerbang dengan nada-nada shalawat. Ia terharu. Anak-anak seusia para penerbang di Afganistan tidak ada yang bisa memiliki kemampuan seni dan optimis seperti di Indonesia. Usia muda mereka dihabiskan untuk latihan berperang. Tidak sebagaimana dilihat olehnya di Indonesia.
Keheranan Qalamuddin makin menjadi kala melihat fakta bahwa amaliyah ubudiyah warga NU di Indonesia hampir mirip dengan muslimin di negerinya yang mayoritas bermadzhab Hanafiyah. Tapi Indonesia lebih damai daripada negerinya, apa rahasianya? Karena NU bukan saja komunitas pengamal Syafi’iyah, tapi juga menyatukan antara nasinalisme dan religiusitas, dengan jargonnya; hubbul wathon minal iman.
Sinergi nasionalisme dan religiusitas itulah yang disebut sebagai bagian dari harakah an-nahdliyyah. NU itu tidak hanya memiliki amaliyah aswaja, tapi juga harakah (gerakan khas), yang meliputi gerakan keagamaan (diniyyah), kemasyarakatan (ijtimaiyyah), persaudaraan (ukhuwwah), serta amar ma’ruf nahi munkar. Hanya terjebak pada amaliyah aswaja saja, tentu tidak cukup sebagai modal membangun keutuhan negara dan bangsa.
Buktinya, meski mayoritas muslim dan sama-sama berpaham aswaja, Afganistan tetap bisa diporak-porandakan oleh politik adu domba, sebagaimana halnya Suriah, Irak, Yaman dan Somalia. Negeri-negeri itu menuju negara gagal karena massifnya kampanye ideologi radikal yang memiliki semangat beragama tinggi tapi memisahkannya dengan semangat mencintai bangsa dan negara.
Qalamuddin akhirnya belajar. Sebagai Menteri Amar Ma’ruf Nahi Munkar, ia kemudian membawa pula lagu Syubbanul Wathon (yang dikarang KH. Abdul Wahab Chasbullah), ke negerinya sana, Afganistan. Teks “Indonesia Bilady” dari Mbah Wahab diubah menjadi “Afganistan Bilady (Afganistan negeraku)”. Negeri Aljazair menyusul menggubah Syubbanul Wathon menjadi “Aljazair Bilady”. MasyaAllah.
Salah satu materi khutbah Jum’at kiai/ulama’ Nahdlatul Ulama yang menjelaskan tentang Pancasila sebagai falsafah persatuan antar bangsa di Indonesia, juga dibawa pulang oleh beberapa duta negara sahabat Indonesia untuk diterjemahkan ke bahasa kebangsaan mereka. Pada momen tertentu, para khatib Jum’at diminta pihak berwenang untuk mengkhutbahkan materi khutbah dari kiai NU tersebut. Saya tidak perlu menyebut nama beliau di sini. Intinya, Pancasila juga menjadi basis persatuan di negeri-negeri tersebut.
Walhasil, keseriusan Nahdlatul Ulama dalam menyebarkan Islam aswaja An-Nahdliyyah dalam karakter rahmatan lil alamin ala Islam Nusantara di belahan bumi lain bukan omong kosong. Hal itu nyata dan serius terjadi. Wajar jika NU diramalkan kelak menjadi penyangga perdamaian dunia sebagaimana tertuang dalam misi logo NU hasil istikharah KH. Ridlwan Abdullah selama tiga malam berturut-turut. Wajar pengaruh NU makin diakui dunia, dan wajar pula jadi sasaran nyinyir dan fitnah kalangan kathok cingkrang jidat gosong.[]
ditulis ulang oleh ~ Pak Rt
Sumber: http://bit.ly/2S8Ljh5
#BeritaIslami
#Sunnah
#Qur'anHadist
#Tuntunan
#Islamnusantara
#PIN
#BelaIslam
#Aqidah
#ASWAJA
#pejuangislamnusantara
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar