Pesantren Al Falah Biru Pejuang Pembela Tanah Air
ilustrasi pesantren tempo dulu |
Pesantren Al Falah Biru Pejuang Pembela Tanah Air.
- Melarang mengagungkan dan mendoakan bupati dalam khutbah.
- Menyalahkan bupati dan berani berkata “caduk” kepada bupati dimuka umum.
- Mengejek pemerintahan Belanda dimuka umum.
- Melarang menyembah, sebab pada waktu itu diharuskan manut-manut (menyembah) kepada para menak/ningrat.
Biru didirikan tahun 1749 oleh Embah Pengulu (Embah Kyai Akmaluddin) penghulu Timbanganten /Garut dan menantunya Raden Kyai Fakaruddin keturunan ke-11 dari Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatulloh, Raja Cirebon) dan keturunan ke-11 dari Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran).
I. Kampung Biru merupakan daerah yang bersejarah baik di kalangan Islam maupun Nasional, sebab menghasilkan banyak sejarah dan peran yang penting dari sebelum masa penjajahan Belanda sampai kemerdekaan Presiden Soekarno, serta Biru merupakan pedoman sejarah keturunan (silsilah), ke-ulamaan dan ke-radenan di daerah Garut.
Ulama yang memimpin dan mengelola Pesantren Biru adalah:
- Embah Kyai Akmaluddin dan Embah Kyai Fakkaruddin
- Embah Ajengan Abdulrosyid
- Embah Kyai Irvan
- Embah Kyai Abu Qo’im
- Raden Bagus K.H. Muhammad Ro’ie (Ama Biru).
Pada masa ini Pesantren Al-Falah Biru mengalami banyak rintangan baik dari penjajah, Umat Islam ataupun pengaruh para politikus di Indonesia. Ulama yang memimpin dan mengelola Pesantren Al-Falah Biru adalah: Raden KH. Asnawi Muhammad FaqiehSyaikhuna BadruzzamanR. KH. BahruddinPada tahun 1933-1938 M. Raden KH. Asnawi Muhammad Faqieh dan putranya Syaikhuna Badruzzaman mengungsi dari kampung Al-Falah, untuk menyebarkan agama Islam di daerah Kab. Tasik yaitu Taraju/Indularang yang masih menganut agama Hindu yang kebetulan di daerah Garut sedang terjadi fitnah “Perintah Suntik” dari penjajah Belanda.
Sepulang dari pengungsian pengajian dibuka lagi, pada waktu itu Pesantren Al-Falah Biru mempunyai puluhan ribu murid bahkan pada pada masa penjajahan Jepang berjumlah ratusan ribu murid sehingga Jepang menyebutnya “Maha Raja” kepada KH Faqieh yang dibantu oleh putranya Syaikhuna Badruzzaman, karena Jepang melihat kehebatan pengaruhnya melebihi yang lainnya.
II. P o l i t i k Perpolitikan di kampung Biru telah tercatat sejak tahun 1914, yang dimulai oleh KH. Muhammad Soleh putra Ama Biru yang ikut bergabung dengan SI (Syarikat Islam) pimpinan H. Oemar Said Cokro Aminoto, pada saat itu Biru berani terang-terangan ingin merdeka, dan mengajak kepada orang lain, menentang dan mengejek pemerintah Belanda dimuka umum yaitu:
- Melarang mengagungkan dan mendoakan bupati dalam khutbah.
- Menyalahkan bupati dan berani berkata “caduk” kepada bupati dimuka umum.
- Mengejek pemerintahan Belanda dimuka umum.
- Melarang menyembah, sebab pada waktu itu diharuskan manut-manut (menyembah) kepada para menak/ningrat.
- Lagu kebangsaanya adalah: Indones-Indones merdeka-merdeka tanah-ku negriku yang ku cinta 2xIndones-Indones mulia-mulia hiduplah Islam Indonesia.
Pemberontakan-rakyat-toli-toli-1919 Tetapi berbagai masalah pribadi muncul mengusik kerjasama itu. Pertama, pada tahun 1920, posisi Tjokroaminoto sebagai ketua SI mulai merosot. Terutama karena kasus ‘Seksi B’, yaitu pemberontakan rakyat Garut, Jawa Barat, yang dipimpin oleh SI, yang membuat Tjokroaminoto terancam ditangkap. Karena itu, Tjokro meminta agar SI mengendurkan serangan dan menghindari kontroversi yang mengganggu penguasa.
SI cabang Semarang, yang dikuasai kaum merah, mengecam sikap mengendur Tjokro tersebut. tan-malaka-dan-islam Pada periode kepemimpinan Syaikhuna Badruzzaman yaitu tahun 1942 dimasa penjajahan Jepang dan Agresi Belanda II beliau mendirikan pasukan Hizbulloh kemudian Hizbulloh Fisabilillah yang lebih besar lagi untuk mengusir dan melawan penjajah sehingga berhasil mematahkan dan menggempur sebagian di wilayah Garut, Bandung dan Jogya (Madiun), maka pada waktu itu Al-Falah Biru terkenal ditingkat Nasional (terkenalnya “Biru”) baik di dalam ilmu ke-pesantrenan ataupun kegagahan serta keberaniannya dalam berperang dengan penjajah untuk membela umat Islam dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (1942-1949).
Maka pada masa kemerdekaan Biru cukup dihormati dan disegani oleh pemerintahan Presiden Soekarno dan masyarakat umum.
III. Mundurnya Pengaruh Biru (Al-Falah Biru)Mundurnya pengaruh Al-Falah Biru disebabkan adanya politik DI/TII pimpinan Karto Suwiryo yang banyak merugikan Umat Islam yang mengorbankan jutaan jiwa di seluruh Indonesia maka pada tahun 1950 Syaikhuna Badruzzaman mengungsi ke Majenang Jawa Tengah kemudian ke Arab Saudi dengan bantuan Muhammad Natsir tokoh Partai Masyumi dan kembali lagi tahun 1960, kemudian membangun lagi Pesantren Al-Falah Biru sejak itu pesantren tidak ramai seperti sebelum ditinggalkan.Yang kedua adalah adanya politik Muhammadiyyah memasukkan pengaruhnya kepada Syaikhuna Badruzzaman walaupun pada akhirnya beliau bersikap netral terhadap partai-partai politik yang ada. Pengaruh kejahatan politik partai komunis (PKI) di Republik Indonesia yang memusuhi umat beragama khususnya agama Islam juga merugikan umat Islam, banyaknya ulama-ulama, kyai-kyai, dan pembela agama Islam yang dibunuh dengan kejam yang tidak berpri-kemanusiaan termasuk Syaikhuna Badruzzaman pun diancamnya akan dibunuh.Walaupun banyak cobaan dan rintangan dari waktu kewaktu, pengaruh kebesaran Biru masih membekas dimata para murid dan yang menyaksikan dimasa kejayaannya sampai saat ini (tahun 2006 M), seperti semakain banyaknya orang yang mengikuti amalan Thoriqot-Tijaaniyyah yang dahulunya di pimpin oleh Syaikhuna Badruzzaman di tahun 1935 M.
ditulis ulang oleh Pak Rt
dr berbagai sumber
BACA JUGA
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar