Blog ini mengenai syiar ISLAM ala NUSANTARA, yang menjunjung adab ketimuran, sekaligus sebagai gambaran kecintaan terhadap kyai, habaib, dan NKRI
KH MUDZIR, Kyai Karismatik Kediri
Assalamu'alaikum Para Santri~KH. Mundzir adalah pengasuh pondok pesantren “Tahfidzul Qur’an Ma’unah Sari” Bandar Kidul, Kediri, Jawa Timur.
Sebagai Kyai kharismatik atau di segani oleh masyarakat, KH Mundzir mempunyai karomah antara lain :
1. Si kecil yang perkasa
Perilaku masa kecil Kyai Mundzir wajar-wajar saja, sebagaimana anak kecil pada umumnya, walau kadang memperlihatkan pola tingkah yang tidak lumrah atau
nganeh-nganehi, yang di dunia pesantren bisa di istilahkan dengan kata khorikul ‘adah, pernah suatu ketika Kyai Mundzir memainkan gentong / mengangkat-angkat gentong dengan santainya, tentu hal ini mengundang keheranan dan rasa takjub bagi siapapun yang melihatnya. Rasa heran dan takjub itupun semakin menjadi tatkala gentong tersebut penuh dengan air yang bagi satu orang dewasapun umumnya belum kuat untuk mengangkatnya, namun ternyata Kyai Mundzir yang masih anak-anak itu bukan sekedar mengangkat, malah memainkanya dengan santai laksana seorang “pendekar atau jagoan kungfu” yang sedang memperlihatkan keahlianya.
2. Bisa terbang
Polah tingkah yang tidak wajar terjadi sampai Kyai Mundzir tumbuh dewasa. Dikisahkan oleh seorang teman dekat beliau yang saat nyantri di pesantren semelo perak jombang, yaitu seorang santri yang sekarang tinggal di dusun Sido Warek Jombang. Kyai Mundzir seorang santri yang gemar ziarah ke makam-makam para wali, sebagai teman dekat santri tadi di ajak ziarah ke pesarean Mojo Agung, Jombang. Seperti biasanya perjalanan itu dilakukan dengan berjalan kaki. Namun kiranya ada yang luar biasa dalam perjalanan kali ini, karena sebelum berangkat Kyai Mundzir berpesan kepada teman akrabnya tersebut untuk tidak tolah toleh dan selalu melihat punggung beliau selama perjalanan nanti. Setelah beberapa saat dalam perjalanan, teman Kyai Mundzir merasa seakan akan melewati suatu kawasan yang banyak di tumbuhi rerumputan yang tinggi dan lebat, kang santri pun penasaran, tumbuhan apakah yang kiranya kadang menyambar di tubuhnya itu. saking penasarannya, sambil berjalan kang santri tadi sesekali memetik beberapa helai daun atau rumput, dan ia sempat memasukan daun itu ke dalam saku bajunya. Perjalananpun akhirnya sampai, setelah keperluan ziarah dan lainya selesai, Kyai Mundzir mengajak pulang seperti biasanya. Setelah sampai di kamar santri tadi segera mengambil daun yang ada dalam sakunya untuk dilihat. Namun alangkah terkejutnya kang santri tadi, karena ternyata bukan rumput yang di temukan dalam sakunya melainkan daun kelapa yang masih muda. Setelah menyadari apa yang baru saja terjadi, sambil menerawang, santri tersebut bergumam “lha aku iki la’ diajak gus mundzir lewat duwure wit klopo”.
3. Memanggil pucuk pohon bambu
Di suatu daerah Jombang, saat Kyai Mundzir sedang melaksanakan riyadhoh, dan sebagaimana biasa, hari itupun diisi dengan terus menerus sholat. Kebetulan di tempat itu, ada seorang santri yang bisa di bilang nakal, dan ia mengetahui bagaimana disiplinya Kyai Mundzir menjaga kebersihan. Di saat beliau sedang menunaikan sholat, santri tadi sengaja berniat ngerjai/njarag, dengan cara pakaian beliau yang di jemur di depan mushola sebagai lap. Hal itu ternyata di ketahui oleh beliau, karena itu setelah salam, beliau langsung mencuci pakaian tersebut dan kembali menjemurnya lagi, melihat hal itu, santri tadi ternyata mengulangi lagi perbuatan tersebut, lagi-lagi beliau tahu, dan mencuci serta menjemurnya lagi, dan selanjutnya kembali sholat. Namun saking nakalnya santri tadi belum puas, lalu mengulanginya sekali lagi. Saat itulah, setelah sholat, beliau mencuci pakaian tersebut, namun kali ini di jemur dengan cara yang ” nyleneh”, bagaimana tidak, usai mencuci pakaian tadi, beliau melambaikan tangan seakan memanggil pucuk pohon bambu yang berada di depan mushola, dan anehnya pula bambu itu seolah paham, karena tiba-tiba bambu itu merunduk dan selanjutnya berdiri tegak kembali, setelah jemuran pakaian beliau di titipkan pada pucuknya.
4. Mengetahui barang yang tidak halal
Pada saat berdirinya sebuah pesantren dan jumlah santrinya masih sedikit, hubungan antara pengasuh dan santri sangat dekat dan akrab. Terlebih lagi hubungan antar santri, sehingga yang namanya masak bersama adalah suatu kebiasaan yang paling digemari. Tidak jauh berbeda dengan kondisi ma’unah sari tempo dulu, suatu ketika dalam acara masak bersama, kyai mundzir di aturi untuk kerso dahar/makan bersama, masakan “karya” bersama yang di komandani kang sarwan, saat itu di lengkapi dengan lauk ikan lele, sungguh sebuah menu yang cukup istimewa bagi santri tempo dulu, pada saat makan bersama itu, tampak para santri menikmati masakan itu dengan nikmatnya, namun lain halnya dengan yang di rasakan kyai mundzir, karena beliau merasakan ikan lele tersebut sangat pahit sekali. Kemudian kyai mundzir bertanya kepada kang santri “kok rasanya begini, kenapa? Pasti ada yang gak beres!” dawuh kyai mundzir. Setelah diusut ternyata ikan lele yang dimakan tadi berasal dari kubangan yang airnya mengalir dari rumah tetangga dan kemungkinan ikan subhat itu berasal dari sana pula.
5. Mengetahui apa yang di kerjakan santrinya
Lain lagi cerita pada masa awal berdirinya pesantren ma’unah sari. Kegiatan yang ditekankan bukanlah mengaji kitab atau pelajaran-pelajaran yang bersifat teori, akan tetapi amalan amalan sholat sunnah dan wiridan. Sementara itu aturan pondok pun belum tersusun secara rapi, pokoknya “ opo dawuhe yai” itulah aturan. Sehingga keluyuran malam termasuk agenda harian para santri awal, salah satunya adalah seorang santri dari nganjuk. Si santri ini, saat itu tergolong santri yang “sedengan” selain senang dengan keluyuran malam, terkadang juga masih di tambah dengan acara “ njaraki” anak perempuan atau melakukan hal-hal lain khas anak muda dalam “tuornya” yang terkadang tidak cocok dengan etika santri, istilahnya sembrono dan biasanya setelah larut malam rombongan santri ndableg itu melakukan agenda harianya dan seperti biasanya sampai larut malam. Anehnya ketika mereka kembali ke pondok dengan diam-diam, kyai mundzir sudah mapak di samping masjid seakan akan sudah tahu apa yang baru saja mereka lakukan. Sambil terus memperhatikan santri-santrinya yang habis keluyuran itu, kyai mundzir dawuh “ayo kang wudhu” kang santripun menjawab “ inggih yai” dengan rasa takut dan heran kepada kyainya itu. kemudian dengan bijaksananya, beliau memerintahkan kepada santrinya yang terkenal dengan sebutan baduine bandar kidul beserta rombonganya itu untuk sholat sunnah dan membaca istighfar sampai ribuan kali, bahkan terkadang tiada batasan.hingga nanti kalau di suruh berhenti barulah selesai hukumanya.
KH. Mundzir adalah pengasuh pondok pesantren “Tahfidzul Qur’an Ma’unah Sari” Bandar Kidul, Kediri, Jawa Timur.
Sebagai Kyai kharismatik atau di segani oleh masyarakat, KH Mundzir mempunyai karomah antara lain :
1. Si kecil yang perkasa
Perilaku masa kecil Kyai Mundzir wajar-wajar saja, sebagaimana anak kecil pada umumnya, walau kadang memperlihatkan pola tingkah yang tidak lumrah atau
nganeh-nganehi, yang di dunia pesantren bisa di istilahkan dengan kata khorikul ‘adah, pernah suatu ketika Kyai Mundzir memainkan gentong / mengangkat-angkat gentong dengan santainya, tentu hal ini mengundang keheranan dan rasa takjub bagi siapapun yang melihatnya. Rasa heran dan takjub itupun semakin menjadi tatkala gentong tersebut penuh dengan air yang bagi satu orang dewasapun umumnya belum kuat untuk mengangkatnya, namun ternyata Kyai Mundzir yang masih anak-anak itu bukan sekedar mengangkat, malah memainkanya dengan santai laksana seorang “pendekar atau jagoan kungfu” yang sedang memperlihatkan keahlianya.
2. Bisa terbang
Polah tingkah yang tidak wajar terjadi sampai Kyai Mundzir tumbuh dewasa. Dikisahkan oleh seorang teman dekat beliau yang saat nyantri di pesantren semelo perak jombang, yaitu seorang santri yang sekarang tinggal di dusun Sido Warek Jombang. Kyai Mundzir seorang santri yang gemar ziarah ke makam-makam para wali, sebagai teman dekat santri tadi di ajak ziarah ke pesarean Mojo Agung, Jombang. Seperti biasanya perjalanan itu dilakukan dengan berjalan kaki. Namun kiranya ada yang luar biasa dalam perjalanan kali ini, karena sebelum berangkat Kyai Mundzir berpesan kepada teman akrabnya tersebut untuk tidak tolah toleh dan selalu melihat punggung beliau selama perjalanan nanti. Setelah beberapa saat dalam perjalanan, teman Kyai Mundzir merasa seakan akan melewati suatu kawasan yang banyak di tumbuhi rerumputan yang tinggi dan lebat, kang santri pun penasaran, tumbuhan apakah yang kiranya kadang menyambar di tubuhnya itu. saking penasarannya, sambil berjalan kang santri tadi sesekali memetik beberapa helai daun atau rumput, dan ia sempat memasukan daun itu ke dalam saku bajunya. Perjalananpun akhirnya sampai, setelah keperluan ziarah dan lainya selesai, Kyai Mundzir mengajak pulang seperti biasanya. Setelah sampai di kamar santri tadi segera mengambil daun yang ada dalam sakunya untuk dilihat. Namun alangkah terkejutnya kang santri tadi, karena ternyata bukan rumput yang di temukan dalam sakunya melainkan daun kelapa yang masih muda. Setelah menyadari apa yang baru saja terjadi, sambil menerawang, santri tersebut bergumam “lha aku iki la’ diajak gus mundzir lewat duwure wit klopo”.
3. Memanggil pucuk pohon bambu
Di suatu daerah Jombang, saat Kyai Mundzir sedang melaksanakan riyadhoh, dan sebagaimana biasa, hari itupun diisi dengan terus menerus sholat. Kebetulan di tempat itu, ada seorang santri yang bisa di bilang nakal, dan ia mengetahui bagaimana disiplinya Kyai Mundzir menjaga kebersihan. Di saat beliau sedang menunaikan sholat, santri tadi sengaja berniat ngerjai/njarag, dengan cara pakaian beliau yang di jemur di depan mushola sebagai lap. Hal itu ternyata di ketahui oleh beliau, karena itu setelah salam, beliau langsung mencuci pakaian tersebut dan kembali menjemurnya lagi, melihat hal itu, santri tadi ternyata mengulangi lagi perbuatan tersebut, lagi-lagi beliau tahu, dan mencuci serta menjemurnya lagi, dan selanjutnya kembali sholat. Namun saking nakalnya santri tadi belum puas, lalu mengulanginya sekali lagi. Saat itulah, setelah sholat, beliau mencuci pakaian tersebut, namun kali ini di jemur dengan cara yang ” nyleneh”, bagaimana tidak, usai mencuci pakaian tadi, beliau melambaikan tangan seakan memanggil pucuk pohon bambu yang berada di depan mushola, dan anehnya pula bambu itu seolah paham, karena tiba-tiba bambu itu merunduk dan selanjutnya berdiri tegak kembali, setelah jemuran pakaian beliau di titipkan pada pucuknya.
4. Mengetahui barang yang tidak halal
Pada saat berdirinya sebuah pesantren dan jumlah santrinya masih sedikit, hubungan antara pengasuh dan santri sangat dekat dan akrab. Terlebih lagi hubungan antar santri, sehingga yang namanya masak bersama adalah suatu kebiasaan yang paling digemari. Tidak jauh berbeda dengan kondisi ma’unah sari tempo dulu, suatu ketika dalam acara masak bersama, kyai mundzir di aturi untuk kerso dahar/makan bersama, masakan “karya” bersama yang di komandani kang sarwan, saat itu di lengkapi dengan lauk ikan lele, sungguh sebuah menu yang cukup istimewa bagi santri tempo dulu, pada saat makan bersama itu, tampak para santri menikmati masakan itu dengan nikmatnya, namun lain halnya dengan yang di rasakan kyai mundzir, karena beliau merasakan ikan lele tersebut sangat pahit sekali. Kemudian kyai mundzir bertanya kepada kang santri “kok rasanya begini, kenapa? Pasti ada yang gak beres!” dawuh kyai mundzir. Setelah diusut ternyata ikan lele yang dimakan tadi berasal dari kubangan yang airnya mengalir dari rumah tetangga dan kemungkinan ikan subhat itu berasal dari sana pula.
5. Mengetahui apa yang di kerjakan santrinya
Lain lagi cerita pada masa awal berdirinya pesantren ma’unah sari. Kegiatan yang ditekankan bukanlah mengaji kitab atau pelajaran-pelajaran yang bersifat teori, akan tetapi amalan amalan sholat sunnah dan wiridan. Sementara itu aturan pondok pun belum tersusun secara rapi, pokoknya “ opo dawuhe yai” itulah aturan. Sehingga keluyuran malam termasuk agenda harian para santri awal, salah satunya adalah seorang santri dari nganjuk. Si santri ini, saat itu tergolong santri yang “sedengan” selain senang dengan keluyuran malam, terkadang juga masih di tambah dengan acara “ njaraki” anak perempuan atau melakukan hal-hal lain khas anak muda dalam “tuornya” yang terkadang tidak cocok dengan etika santri, istilahnya sembrono dan biasanya setelah larut malam rombongan santri ndableg itu melakukan agenda harianya dan seperti biasanya sampai larut malam. Anehnya ketika mereka kembali ke pondok dengan diam-diam, kyai mundzir sudah mapak di samping masjid seakan akan sudah tahu apa yang baru saja mereka lakukan. Sambil terus memperhatikan santri-santrinya yang habis keluyuran itu, kyai mundzir dawuh “ayo kang wudhu” kang santripun menjawab “ inggih yai” dengan rasa takut dan heran kepada kyainya itu. kemudian dengan bijaksananya, beliau memerintahkan kepada santrinya yang terkenal dengan sebutan baduine bandar kidul beserta rombonganya itu untuk sholat sunnah dan membaca istighfar sampai ribuan kali, bahkan terkadang tiada batasan.hingga nanti kalau di suruh berhenti barulah selesai hukumanya.
ditulis ulang oleh Pak Rt
sumber... Yulfa fadllillah