Assalamu'alaikum Para Santri~ KH.TUBAGUS AHMAD BAKRI GURU SUFI Purwakarta .
ULAMA NUSANTARA PECINTA NKRI Gurunya para Wali
Beliau salah satu Habib yg tidak memakai Pangkat Kehabibannya Sendiri.
Karena menurut Beliau yg menolong Beliau nantinya bukanlah faktor NASAB melainkan faktor SANAD KEILMUAN.
Abuya Dimyati Cidahu,Abuya Dimyati Cilongok,Abuya Bustomi Pandeglang adalah beberapa dari sekian Waliyulloh yg berguru kpd Beliau.
KH Tubagus (Tb) Ahmad Bakri, lebih dikenal dengan sebutan Mama Sempur. Mama merupakan istilah bahasa sunda yang berasal dari kata rama artinya Bapak. Di kalangan masyarakat Jawa Barat, kata Mama ini biasanya disematkan kepada Ajengan atau Kiai sehingga sebutannya menjadi Mama Ajengan atau Mama Kiai. Sementara Sempur adalah sebuah Desa yang ada di Kecamatan Plered, Purwakarta, Jawa Barat.<>
Beliau salah satu Habib yg tidak memakai Pangkat Kehabibannya Sendiri.
Karena menurut Beliau yg menolong Beliau nantinya bukanlah faktor NASAB melainkan faktor SANAD KEILMUAN.
Abuya Dimyati Cidahu,Abuya Dimyati Cilongok,Abuya Bustomi Pandeglang adalah beberapa dari sekian Waliyulloh yg berguru kpd Beliau.
KH Tubagus (Tb) Ahmad Bakri, lebih dikenal dengan sebutan Mama Sempur. Mama merupakan istilah bahasa sunda yang berasal dari kata rama artinya Bapak. Di kalangan masyarakat Jawa Barat, kata Mama ini biasanya disematkan kepada Ajengan atau Kiai sehingga sebutannya menjadi Mama Ajengan atau Mama Kiai. Sementara Sempur adalah sebuah Desa yang ada di Kecamatan Plered, Purwakarta, Jawa Barat.<>
Mama
Sempur lahir di Citeko, Plered, Purwakarta, Jawa Barat pada tahun 1259 H
atau bertepatan dengan tahun 1839 M, ia merupakan putera pertama dari
pasangan KH Tubagus Sayida dan Umi, selain KH Tubagus Ahmad Bakri dari
pasangan ini juga lahir Tb Amir dan Ibu Habib.
Ayah
KH Tubagus Sayida yang juga kakeknya KH Tubagus Ahmad Bakri adalah KH.
Tubagus Arsyad, ia seorang Qadi Kerajaan Banten, namun KH Tubagus Sayida
nampaknya tidak berminat untuk menjadi Qadi Kerajaan Banten
menggantikan posisi ayahnya dan dengan berbagai pertimbangan akhirnya ia
memutuskan untuk meninggalkan Banten.
Perjalanan
KH. Tubagus Arsyad dari Banten membawanya sampai di daerah Citeko,
Plered, Purwakarta, di tempat inilah Tubagus Sayida bertemu dan menikah
dengan Umi, dan di daerah ini pula seorang bayi yang diberi nama Ahmad
Bakri dilahirkan, Ahmad Bakri muda mendapatkan pendidikan agama dari
keluarga, untuk menambah wawasan dan ilmu keislaman, ia belajar di
berbagai Pondok Pesantren yang ada di Jawa dan Madura, sebelum
berangkat, KH. Tb. Sayida berpesan kepada Ahmad Bakri agar jangan
berangkat ke Banten apalagi menelusuri silsilahnya, ia baru
diperbolehkan melakukan hal tersebut ketika masa studinya di pesantren
selesai.
Tidak
puas belajar di Jawa dan Madura membuat KH. Tubagus Ahmad Bakri
bertekad berangkat ke pusat studi Islam, yaitu Mekkah, disana ia belajar
kepada ulama-ulama nusantara, setelah dianggap cukup dan berniat
menyebarkan agama Islam ia kemudian pulang ke Purwakarta dan pada tahun
1911 M, ia memutuskan untuk mendirikan pesantren di daerah Sempur dengan
nama Pesantren As-Salafiyyah.
Beberapa
santri KH Tubagus Ahmad Bakri yang menjadi ulama terkemuka diantaranya
KH. Abuya Dimyati Banten, KH Raden Ma’mun Nawawi Bekasi, KH Raden
Muhammad Syafi’i atau dikenal dengan Mama Cijerah Bandung, KH Ahmad
Syuja’i atau Mama Cijengkol, KH Izzuddin atau Mama Cipulus Purwakarta.
Di
pesantren ini pula KH. Tubagus Ahmad Bakri banyak menuangkan
pemikirannya dalam berbagai kitab yang ia tulis, dan selama hidupnya KH
Tubagus Ahmad Bakri diabdikan hanya untuk mengaji atau thalab ilm, dan
thalab ilmu inilah yang menjadi jalannya untuk mendekatkan diri kepada
Allah (tarekat), maka tarekat yang ia pegang adalah Tarekat Ngaji,
sebagaimana ia ungkapkan dalam karyanya yang berjudul Futuhatut Taubah
Fi Shidqi Tawajuhit Tarekat pada (h. 47-49) sebagaimana berikut:
Ari
anu pang afdol2na tarekat dina zaman ayeuna, jeung ari leuwih
deukeut2na tarekat dina wushul ka Allah Ta`ala eta nyatea tholab ilmi,
sarta bener jeung ikhlash.
(Tarekat
yang paling afdol zaman sekarang dan tarekat yang paling dekat dengan
`wushul` kepada Allah adalah thalab ilmi serta benar dan ikhlash)
Pernyataan
KH Tubagus Ahmad Bakri ini dikutip dari jawaban seorang Mufti Syafi`i
yaitu Syaikh Muhammad Sayyid Babashil yang mendapat pertanyaan seputar
tarekat dari Syaikh Ahmad Khatib. Dialog kedua ulama tersebut dikutip
oleh Mama Sempur dalam dalam Kitab Idzharu Zughlil Kadzibin halaman 61.
Menurut
salah seorang cucu KH. Tubagus Ahmad Bakri, yaitu KH. Tubagus Zein, KH.
Tubagus Ahmad Bakri pernah mengecam terhadap penganut tarekat, karena
sebagian dari mereka ada yang meninggalkan syariat dan menurut KH.
Tubagus Zain, kecaman ini lebih kepada melindungi masyarakat agar tetap
bisa menyeimbangkan antara syariat dan hakikat.
Namun
demikian, dalam kitab Futuhatut Taubah Fi Shidqi Tawajuhit Tarekat (h.
32) seraya mengutip pernyataannya Syaikh Muhammad Amin Asyafi`i
Annaqsyabandi, KH. Tubagus Ahmad Bakri menyatakan bahwa hukum masuk
dalam salah satu tarekat mu`tabarah bagi setiap muslim laki-laki maupun
perempuan yang sudah mukallaf adalah fardlu`ain. Sehingga menurut salah
satu riwayat KH Tubagus Ahmad Bakri pun tetap menganut tarekat
mu`tabarah. Adapun tarekat yang dianutnya adalah Tarekat Qadiriyyah wan
Naqsyabandiyah (TQN).
Sementara
mengenai Tarekat Ngaji ini, bisa dilihat dari aktifitas dan kesibukan
KH. Tubagus Ahmad Bakri sehari-hari, sebagaimana disampaikan oleh salah
seorang muridnya, KH Mu`tamad. Menurut Pengasuh Pesantren Annur Subang
ini, setiap pukul empat pagi, KH. Tubagus Ahmad Bakri sudah bersila dan
berdzikir di dalam masjid, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan shalat
subuh berjamaah, selepas wiridan dan shalat berjamaah selesai, ia tetap
bersila sampai waktu dluha tiba, kemudian melaksanakan shalat dluha dan
dilanjutkan kembali dengan mengajar ngaji santri sampai pukul 11.00
WIB.
Usai
mengajar ngaji santri, jadwal pengajian selanjutnya adalah mengajar
ngaji kiai-kiai sekitar kampung dan dilanjutkan dengan shalat Dhuhur
berjamaah. Kemudian ia pulang ke rumah dan istirahat. Namun ia tak
pernah bisa istirahat sepenuhnya, karena sudah ditunggu para tamu,
sampai waktu ashar.
Selepas
shalat Ashar, KH. Tubagus Ahmad Bakri kembali mengaji bersama para
santri hingga menjelang maghrib. Selepas maghrib, istirahat sejenak dan
shalat Isya, setelah shalat isya, ia kembali mengajar sampai pukul 23.00
WIB. Bahkan menurut satu riwayat, kebiasaan KH. Tubagus Ahmad Bakri
yang pernah diketahui oleh santrinya adalah ia tidak pernah batal wudhu
sejak isya sampai subuh dan tidak pernah terlihat makan.
Keluarga
KH. Tubagus Ahmad Bakri adalah keluarga yang taat beragama, ayahnya pun
merupakan salah satu ulama kharismatik, sehingga pendidikan agama KH.
Tubagus Ahmad Bakri di usia dini diperoleh melalui ayahnya. Adapun
Ilmu-ilmu yang dipelajari oleh KH. Tubagus Ahmad Bakri meliputi Ilmu
tauhid, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Hadits dan Tafsir.
Menurut
salah seorang cucunya, setelah ilmu dasar agama dianggap cukup, Mama
Sempur memutuskan untuk menimba ilmu ke pesantren yang ada di Jawa dan
Madura, beberapa ulama yang pernah ia timba ilmunya adalah Sayyid Utsman
bin Aqil bin Yahya Betawi, Syaikh Soleh Darat bin Umar Semarang, Syaikh
Ma’sum bin Ali, Syaikh Soleh Benda Cirebon, Syaikh Syaubari, Syaikh
Ma’sum bin Salim Semarang, Raden Haji Muhammad Roji Ghoyam Tasikmalaya,
Raden Muhammad Mukhtar Bogor, Syaikh Maulana Kholil Bangkalan Madura
bahkan di Syaikh Maulana Kholil inilah beliau mulai futuh (terbuka
pemikirannya) terhadap ilmu pengetahuan agama Islam.
Pengembaraan
di dunia intelektual tidak membuat Mama Sempur merasa puas. Untuk itu
akhirnya ia memutuskan untuk berangkat menuntut ilmu ke Mekkah. Dalam
kitab Idlah al-Karatoniyyah Fi Ma Yata’allaqu Bidlalati al-Wahhabiyyah
(h. 27), Mama Sempur menyebutkan guru-gurunya sebagaimana berikut:
Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Mahfudz
Termas, Syaikh Said Babshil, Syaikh Umar bin Muhammad Bajunaid, Sayyid
Abdul Karim ad-Dighistani, Syaikh Soleh al-Kaman Mufti Hanafi, Syaikh
Ali Kamal al-Hanafi, Syaikh Jamal al-Maliki, Syaikh Ali Husain
al-Maliki, Sayyid Hamid Qadli Jiddah, Tuan Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh
Said al-Yamani, Syaikh Mukhtar bin Athorid dan Syaikh Muhammad Marzuk
al-Bantani
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar