HIZBUT TAHIR, DARI SHIRA’UL FIKRI KE REVOLUSI
Oleh Jarot Doso




Assalamu'alaikum wahai para sahabat~
Minggu pagi yang cerah di Pondok Pesantren Al Muayyad, Kartosuro, Solo. Para santri, lelaki maupun perempuan, tampak segar dan sumringah.  Mereka, yang rata-rata mahasiswa perguruan tinggi di kota Solo itu, dengan tertib memasuki aula pesantren.

Hari itu Al Muayyad memang punya hajat. Bekerja sama dengan Bale Rakyat Aria Bima Sukoharjo –rumah aspirasi anggota DPR RI Aria Bima—, pesantren memfasilitasi kegiatan seminar dan sosialisasi empat pilar kebangsaan, agenda rutin MPR RI.

Seperti acara serupa sebelumnya, biasanya pembicara minimal terdiri tiga unsur. Yakni tuan rumah dan pengasuh pondok, KH Dian Nafi’, yang mewakili unsur NU; anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Aria Bima; dan saya sendiri yang diminta mewakili unsur Muhammadiyah. Moderator Muchus Budi R dari Detikcom.

Lantaran yang dibahas hanya soal Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, acara pun lancar-lancar saja. Terlebih bagi NU dan Muhammadiyah, empat pilar kebangsaan tersebut memang sudah tak ada masalah lagi. Mereka sudah menerimanya sebagai format final sistem kenegaraan Indonesia.

Seiring hari yang kian terik dan masuk sesi tanya jawab, seorang mahasiwa maju ke depan. Ia lalu berkata lantang: mengecam Pancasila dan NKRI sebagai sistem sekuler, sistem kafir, bla bla bla. Ia juga menguraikan sesatnya demokrasi, sesatnya paham kebangsaan, dan sesatnya hukum yang dibuat oleh manusia, dan seterusnya.

Meski mahasiswa tadi tidak memperkenalkan dirinya dari Hizbut Tahrir atau Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan –ormas mahasiswa Hizbut Tahrir—, namun saya saat itu langsung tanggap, apa yang dia sampaikan adalah mafahim (konsepsi dasar) Hizbut Tahrir.

Mafahim, menurut Hizbut Tahrir, bukanlah sekadar konsep, tetapi konsep yang dimengerti dan diyakini kebenarannya oleh pengucapnya. Semacam tafsir ideologi yang sudah terinternalisasi dalam pikiran dan keyakinan seseorang. Mafahim merupakan turunan dari mabda’ (ideologi) Hizbut Tahrir.

Ketika moderator memintanya menyingkat waktu dan segera mengajukan pertanyaan, si mahasiswa yang mengaku bukan santri setempat ini, terus saja berorasi dan menyatakan ia tak berniat bertanya. Akhirnya moderator terpaksa mematikan mikrofon untuk memotong orasinya, karena dinilai telah keluar dari konteks dan terlalu banyak menyita waktu.

Selesai berbicara, si mahasiswa tadi pergi begitu saja, tanpa merasa perlu mendengar jawaban narasumber maupun audiens acara itu.

SHIRA’UL FIKRI

Apa yang saya uraikan dari kisah nyata di Ponpes Al Muayyad di atas hanyalah untuk mengilustrasikan, begitulah antara lain cara kader Hizbut Tahrir melakukan perang pemikiran (shira’ul fikri).

Perang pemikiran ini menjadi metode diseminasi (penyebaran) ideologi ke tengah publik, baik melalui debat, diskusi, dakwah, agitasi maupun propaganda. Perang pemikiran ini dalam istilah pegiat Ikhwanul Muslimin (PKS, KAMMI) lazim disebut ghazwul fikri.

Seperti ghazwul fikri Ikhwanul Muslimin, shira’ul fikri juga memanfaatkan hampir semua media komunikasi yang ada. Misalnya melalui media cetak Al-Wa’ie (majalah), Al Islam (buletin Jumatan yang dibagikan di masjid-masjid), media online (banyak sekali bertebaran di Internet), seminar untuk umum, diskusi, dan seterusnya.

Hanya saja, menurut saya, perang pemikiran yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir lebih militan dan khas. Mereka bukan saja rajin menghadiri undangan sebagai pembicara dari kelompok lain, termasuk dari lawan ideologis sekalipun, tetapi juga suka merecoki acara yang sebetulnya mereka tak diundang, seperti dalam kasus di Ponpes Al Muayyad tadi.

Dalam forum diskusi atau seminar dimana mereka diundang sebagai pembicara resmi, misalnya, kader Hizbut Tahrir juga gemar memanipulasi forum menjadi ajang promosi ideologi. Caranya, dengan mendominasi pembicaraan, sehingga menyita sebagian besar waktu yang tersedia.

Ini berakibat pembicara lain atau audiens hanya memiliki sangat sedikit waktu untuk mendebat atau memberikan pandangan alternatif. Pihak moderator biasanya juga kewalahan dengan gaya bicara kader Hizbut Tahrir seperti ini.

Dalam sebuah diskusi di Masjid Kampus UGM yang saya ikuti misalnya, tokoh Hizbut Tahrir terkemuka Yogyakarta, Shiddiq al-Jawi, dipanel berdua dengan pembicara dari PKS. Meskipun pembicaranya hanya berdua, namun tetap saja Ustadz Siddiq al-Jawi menyita mayoritas waktu dan cuma menyisakan sedikit waktu bagi pembicara lainnya.

Sesi tanya jawab pun hanya menyisakan kesempatan bagi satu atau dua penanya. Tentunya, dalam situasi seperti ini, bukan kesimpulan berimbang yang diperoleh, tetapi cenderung berat sebelah. Yakni semakin tersebarnya gagasan Hizbut Tahrir, yang memang diharapkan oleh mereka, agar semakin banyak mempengaruhi umat Islam.

Di medsos pun aktivitas kader Hizbut Tahrir dalam menyebarkan gagasannya ini sangat produktif . Bisa dibilang, nyaris setiap kader akan memiliki akun medsos bahkan blog, untuk ikut berjuang melakukan jihad pemikiran ini.

Ini bisa dipahami, karena bagi Hizbut Tahrir, perubahan menuju kekhalifahan Islam hanya akan bisa dicapai jika mereka sudah memenangkan perang pemikiran.

Hizbut Tahrir meyakini, setelah berhasil mengubah pemikiran (fikrah) mayoritas umat Islam, barulah mereka dapat menyusun kekuatan untuk melakukan revolusi dan mengambilalih kekuasaan demi mendirikan khilafah Islamiyah (kekhilafahan Islam).

Dalam konteks ini, upaya pengibaran bendera Hizbut Tahrir di tengah upacara Hari Santri di Garut dan kota-kota sekitarnya baru-baru ini, menurut saya, adalah “by design” dan menjadi bagian dari strategi marketing Hizbut Tahrir. Dengan mendesain insiden itu, hasilnya bendera Hizbut Tahrir yang sebelumnya dilarang dikibarkan, tiba-tiba saja sudah menjadi bendera tauhid yang dieluk-elukan ribuan orang.

Aktivitas penyebaran gagasan ke tengah masyarakat ini sesuai tahap perjuangan Hizbut Tahrir yang --setelah Orde Baru ambruk-- mulai menginjak fase “go public” atau berinteraksi dengan umat (marhalah mafa’ul ma’a ummah).

Sementara pada masa rezim Orde Baru yang otoriter, Hizbut Tahrir  fokus melakukan pembinaan dan pengkaderan secara diam-diam (gerakan bawah tanah), untuk membentuk jaringan organisasi (marhalah at-tatsqif).

Setelah jaringan organisasi kuat dan upaya mengubah pola pikir umat secara massif berhasil, Hizbut Tahrir akan menginjak fase terakhir perjuangannya; yaitu fase revolusi atau pengambilalihan kekuasaan secara penuh (marhalah istilaam al-hukm). Jika revolusi ini berhasil, saat itulah NKRI ambruk dan selanjutnya hanya akan menjadi wilayah provinsi daulah khilafah Islamiyah versi Hizbut Tahrir.

Nah, relakah kita jika Indonesia sampai begitu? Pilihannya ada di tangan antum (anda).

Jakarta, 29/10/2018
ditulis ulang oleh Pak Rt


#Islam
#BeritaIslami
#Sunnah
#Qur'anHadist
#Tuntunan
#Islamnusantara
#PIN
#BelaIslam
#Aqidah
# ASWAJA
Pak Rt

Pak Rt

Salah Satu Penggiat Sosial Media, yang selalu mengedepankan informasi benar terpercaya. sebagai wahana Dakwah dan memerangi HOAK .

Post A Comment:

0 comments: