SEKILAS PANDANG NU, "Tak Kenal Maka Tak Sayang"
Assalamu'alaikum wahai para sahabat~
Mendengar kata NU, barangkali yang terlintas di benak sebagian netizen saat ini adalah pembakaran bendera bertuliskan لا إله إلا الله، pendapat beberapa tokohnya yang dianggap nyeleneh, membela syi'ah, delele.
Beberapa kali mencermati dhawuhnya pengurus NU utamanya para kiai telah bersikap, memberikan respon, bahkan nasihat, dengan cara yang ada dalam pola kinerja NU. (Tentu mereka tidak melaporkan hal itu kepada netizen, juga tidak dengan cara yang melulu sesuai dengan selera netizen).
Mengikuti Rapat Kerja PWNU hari ini untuk kepengurusan 5 tahun ke depan, saya makin memahami bahwa wilayah kerja organisasi ini amat luas, mengakar, dan memang "telah banyak makan garam".
Ada pembahasan tentang dakwah dengan segala dinamika dan pilihan metodenya, pemberdayaan ekonomi umat, pendidikan, kesehatan, kemaslahatan keluarga, dan sebagainya.
Lalu tentang pemeliharaan aset SMP (Sekolah, Madrasah, Pesantren) yang di Jawa Timur saja ratusan jumlahnya; target satu PCNU satu Rumah Sakit; target satu PCNU satu Perguruan Tinggi; program pendampingan keluarga untuk menekan angka perceraian yang akhir-akhir ini meningkat; program Ngaji Tani, pendampingan para nelayan, dan sebagainya.
Di bidang seni, dibahas pula bagaimana melakukan pendampingan pada penggiat jenis seni tertentu semisal Jaranan( kuda lumping), tanpa dilabeli ini seni NU. Mereka dirangkul dan diberi sentuhan dakwah, sebelum diambil agama lain.
Menurut kami selama mengikuti dakwah di gerbong NU, hal yang belum dipahami oleh mereka yang selama ini mengkritik NU adalah keberadaan NU sebagai "jembatan" antara abangan dengan kaum santri, antara nasionalis dan Islamis, antara awam dengan kaum yang tidak lagi awam.
Dalam proses "menjembatani" inilah, orang-orang di luar NU sudah memberikan vonis.
Padahal kita tak bisa memberikan kesimpulan bila sesuatu itu masih berproses.
NU adalah Aswaja dan Ke-Indonesia-an. Dua-duanya selalu menjadi paradigma dan perspektifnya.
Pendekatan dakwahnya tidak selalu aqidah dogmatis, political approach, tapi juga kultural.
Titah teologis terkadang perlu diterjemahkan oleh NU dalam konteks sosiologis.
Dalam membina keluarga besar NU mungkin ada yang melakukan sesuatu yang dinilai mukhalafah, maka saya kira itu adalah niscaya.
Jangankan keluarga dengan jumlah anggota puluhan juta ini, di tengah keluarga kita juga pasti ada yang melakukan "mukhalafah" itu.
Anak yang belum istiqamah shalat. Keponakan kita yang ternyata pacaran. Paklek, bulek, pakdhe, budhe yang ternyata baca Fatihahnya belum benar. Anggota keluarga lainnya yang belum menutup aurat. Istri atau mungkin ibu yang ternyata masih suka berbuat ghibah. Dan sebagainya.
Saya yakin panjenengan semua telah berikhtiar untuk mengingatkan mereka. Sesuai dengan "pola dan kinerja" yang sesuai dengan kultur keluarga anda. Inilah dakwah paling mendasar, yakni dimulai dari keluarga, tetangga hingga satu Dusun melalui Rutinan Yasin, Ngaji Ahad an dlsb...yg intinya dakwah itu harus menyenangkan semua.
ditulis Ulang oleh Pak Rt
sumber dari berbagai sumber
#Islam, #BeritaIslami, #Sunnah, #Qur'anHadist, #Tuntunan
#Islamnusantara, #PIN, #BelaIslam, #Aqidah, # ASWAJA
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar