Refleksi 71 HUT RI ~ Nasionalisme Versus Nafsu Keserakahan
Assalamu'alaikum Para Santri~
Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."
Bung Karno
Nasionalisme berasal dari kata ‘nation’ yang berarti bangsa. Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, sehingga mereka merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri. Dengan demikian Nasionalisme Indonesia pada konteks kekinian adalah rasa cinta yang mendalam bangsa Indonesia untuk menjaga dan mewujudkan cita-cita kemendekaan.
Sekadar mengingatkan dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dalam bahasa lain nasionalisme diungkapkan dengan hubbul wathan, cinta tanah air. Bahkan dalam menurut alim ulama pejuang kemerdekaan Indonesia yang dimotori KH Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa hubbul wathan minal iman, cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Tentu salah satu dasarnya adalah tidak mungkin umat beragama akan mampu menjalankan imannya, kalau negara dalam kondisi tidak aman. Maka mempertahankan keamanan dengan mewujudkan cita-cita kemerdekaan Negara merupakan bagaian dari aktifitas menjaga iman dalam beragama.
Lintasan Nilai Nasionalisme
Dalam cacatan sejarah tumbuhnya nasionalisme bangsa Indonesia ditandai dengan munculnya berbagai gerakan kesadaran pentingnya kemerdekaan, berdaulat, kemakmuran dan kesekahteraan. Seperti lahirnya gerakan Budi Utomo (20 Mei 1908) yang menitikberatkan perjuangan kemerdekaan melalui dunia pendidikan. Karena pendidikan akan membuka kedasaran modern untuk bersama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Pada perkembangan berikutnya nasionalisme bangsa ditandai dengan tumbuhnya organisasi sosial-keagamaan dan social-kemasyarakatan seperti Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926). Keduanya telah terbukti telah mampu menjadi organisasi besar di Indonesia. Dalam lintasan sejarah keduanya selalu menyerukan kekuatan civil society untuk terus menjaga Negara Kesatuan Republik Indoensia. Muhammadiyah membuktikan gerakan nasionalismenya pada peran kemasyarakatan berupa memajukan pengajaran dan kesejahteraan para anggotanya dengan cara mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Sedangkan Nadlatul Ulama (NU) sejak awal berdirinya NKRI, selalu menjadi garda depan dalam memberla keutuhannya. Dengan jargon NKRI harga mati, Pancasila Harga Mati, Resolusi Jihad untuk mempertahankan NKRI, serta peran sosial lainnya.
Pada era reformasi, nasionalisme ditandai dengan gerakan kebangkitan nasional ditetapkannya hari kebangkitan nasional (20 Mei 1998). Merupakan reaksi protes atas tirani, hegemoni, dan otoriterisme rezim orde baru. Reformasi merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan dan pembaruan, terutama perbaikan tatanan perikehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan social.
Pada kesimpulannya, semua gerakan sosial yang merupakan pancaran nilai nasionalisme tersebut memiliki cita-cita yang sama. Bagi generasi awal yang satu zaman dengan Boedi Oetomo, cita-cita merdeka dari penjajah telah terwujudkan, dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Begitu juga dengan cita-cita pemuda ‘98 yang telah berhasil menurunkan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998 gunu terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Nafsu Keserakahan Berbangsa dan Benegara
Ironis memang kata-kata yang berkonotasi nagatif harus muncul di tengah perjuangan nasionalisme yang terus digelorakan. Memang seharusnya “nafsu keserakahan” di usia kemerdekaan Indonesia ke-71 sudah terkubur. Alasannya, sejarah nasionalisme bangsa ini sudah sangat panjang, lintasan rintangan dan tantangan sudah mampu dilewati dengan kemerdekaan dan usaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Artinya, harusnya semakin tua usia, semakin kuat rasa nasionalisme dan cinta tanah air. Tapi realita menunjukkan sebaliknya, nasionalime terkikis oleh fakta “kerakusan” individu elite pemerintah dan partai politik, kerakusan kelompok atas nama agama, kerakusan atas nama demokrasi dan HAM, kerakusan atas nama perjuangan kerakyatan, dan kerakusan lainnya.
Jika keserakahan diartikan sebagai keinginan yang sangat besar untuk memiliki kekayaan, barang atau benda bernilai abstrak, dengan maksud menyimpannya untuk dirinya sendiri atau kelompoknya, jauh melebihi kenyamanan dan kebutuhan dasar untuk hidup yang berlaku pada umumnya. Pada pengertian lain keserakahan juga diterapkan pada keinginan yang besar dan mencolok dalam upaya mengejar kekayaan, status sosial, dan kekuasaan. Maka kondisi Negara Indonesia pada usianya yang ke-71 dipenuhi dengan makna keserahana tersebut.
Sebagai buktinya, semakin merajalelanya kasus korupsi setiap tahunnya. Tahun 2015 sebagaimana data yang dirili Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan total kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sepanjang 2015 mencapai Rp. 31,077 triliun. Sedangkan jabatan tersangka yang paling banyak selama 2015 adalah pejabat atau pegawai pemda/kementerian, disusul direktur dan komisaris pegawai swasta, kepala dinas, anggota DPR/DPRD serta kepala desa/lurah dan camat. Sementara tahun 2014 lebih kerugian Negara lebih kecil, yakni; jumlah kasus 629 kasus, jumlah tersangka 1328 orang dan kerugian negara sebesar Rp. 5,29 triliun.
Bukti keserakahan pada sektor ekonomi adalah munculnya keinginan sebagaian kelompok untuk menghegemoni kekayaan alam Nagera. Kasus perpanjangan kontrak PT Freeport yang telah menyerat banyak oknum masuk ke dalam bui, bahkan petinggi kementerian ESDM. Kasus lain yang sampai saat ini masih menjadi perbincangan publik yaitu reklamasi pantai utara Jakarta. Kelihatan betul bagaimana koorporasi bermain dengan sejumlah elit pemerintah dalam proyek tersebut. Bahkan sudah menyeret korban dari Anggota DPRD DKI Jakarta dan jajaran direksi ke rumah prodeo. Tentu masih banyak lagi praktik manipulasi dalam percaloan bisnis yang berimplikasi kepada kerugian Negara. Kalau nasionalisme itu tidak terkalahkan dengan keserakahan ekonomi segelintir oknum, maka cita-cita kemerdekaan ekonomi itu bukan mimpi.
Pada ranah idelogi kebangsaan, keserakahan sebagian golongan ditunjukkan dengan keinginan menghegemoni atau mengarahkan idelogi bangsa menjadi mengikuti faham agama atau aliran tertentu. Sebut saja kelompok yang selalu menyuarakan tegaknya “khilafah” di bumi nusantara. Gerakan yang dilakukan bahkan sampai mengarah pada issu sarah, yang dapat merusak hubungan horizontal sebagai anak bangsa. Munculnya gafatar, kelompok gerakan santoso, serta gerakan separatis lainnya. Kalaulah dalam dada mereka masih menyala nilai nasionalisme, maka mereka akan memaknai nilai agama juga terkandung dalam ideologi kebangsaan. Bernegara dengan mengarusutamankan nilai agama dan kpercayaannya masing-masing, bukan fomalistik cara ber-agama. Kalau lah pilihan agamanya adalah Islam, maka Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Merdekakan Nasionalisme dari Nafsu Keserakahan
Ulasan di atas adalah dua kutub berlawanan yang salah satunya cenderung mendegradasi makna kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara. Ini semakin membuktikan kebenaran pidato Bung Karno 70 tahun silam, bahwa "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Maka tidak ada pilihan di HUT RI yang ke 71, 17 Agustus 2016, kecuali segenap komponen bangsa bersama berjuang untuk kemerdekaan yang hakiki, lahir dan batin. Merdeka dari penjajah kapitalis dan merdeka dari keserakahan oknum atau golongan yang mengatasnamakan perjuangan kebangsaan.
Ikhtiar itu dibuktikan dengan memerdekakan keinginan untuk menguasai sistem berbangsa dan bernegara. Merdeka secara ekonomi berarti betindak jujur, tidak KKN, tidak mencuri kekayaan Negara untuk diri kelompoknya, apalagi menjual adet Negara pada pihak asing. Merdeka secara politik dibuktikan tidak melalukan skenario hegemoni kekuasaan birokrasi atau pemerintahan. Salah satunya dengan mengusung calon kepala daerah yang memang memiliki kompetensi kepemimpinan, serta berpihak kepada kepentingan rakyat. Bukan kepala daerah yang bertindak atas kepentingan koorporasi dan kelompok tertentu.
Merdeka secara idiologi salah satunya adalah membebaskan bangsa dan negara dari gerakan yang menyerukan “khilafah”, anti pancasila, anti NKRI, dan gerakan separatis lainya. Karena hakikatnya mereka telah melanggar UUD ’45, merusak konsensus para pendiri bangsa, bahkan pemerintah harus bertindak tegas untuk gerakan “bughat” semacam ini.
Akhirnya goresan tulisan yang tidak berarti ini dibuat untuk membuktikan bahwa memang pidato Bung Karno itu teruji kebenarannya. Kemerdekaan hakiki yang diimpikan ternyata malah dijajah oknum bangsa dari dalam negara sendiri. Maka tidak ada pilihan kecuali memperkuat kembali rasa cinta tanah air yang imlikasi pada kuatnya nasionalisme berbangsa dan bernegara. Teladan itu bisa disaksikan dari pemimpin dunia, Nabi Muhammad SAW, meskipun tanah makkah telah berhasil beliau taklukkan, beliau tetap kembali ke madinah sebagai bukti cinta beliau kepada tanah air madinah, cintanya kepada rakyat madinah, dan tentu berbuat lebih banyak kebaikan untuk penduduk madinah. Melepaskan ego individu, partai, kelompok agama, korporasi yang berujung pada keserakahan adalah kebutuhan untuk kemerdekan Indonesia yang hakiki.
Sangat relevan, HUT RI ke-71 kembali meneladani semangat perjuangan dr. Soetomo (pendiri perkumpulan Budi Oetomo) dan Bung Karno (Proklamor Kemerdekaan):
“dari pada hidup seorang diri dalam surga, lebih baik ke neraka bersama dengan rakyat. Jadilah hamba keadilan dan kebenaran, bekerja dan berusaha dengan ketetapan hati, melintasi menuju Indonesia kita”, kita sejak kecil hingga keluar dari sekolah tinggi, bisa mendapatkan pengajaran, karena biaya yang dipungut dari keringat bangsa kita yang melarat dan hidup dalam kegelapan. Karena itu kaum terpelajar harus menyediakan pikiran dan tenaga untuk keperluan dan kesejahteraan rakyat”
“Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali". (Pidato HUT Proklamasi, 1949 Soekarno).
* Penulis adalah Ketua PW Persatuan Guru NU (Pergunu) DKI Jakarta
ditulis ulang oleh Pak Rt
sumber www.nu.or.id
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar